Akademisi UIN Jakarta Bicara Arti Pidato Bung Karno ‘Temukan Kembali Api Islam’

Wakil Rektor UIN Jakarta

AKURAT.CO, Akademisi UIN Jakarta Arief Subhan mengurai arti pidato Presiden Pertama Republik Indonesia Ir Soerkarno atau Bung Karno dalam penganugerahan gelar Honoris Causa (HC) bidang Teologi Islam oleh Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada 1964.

Dalam pidato tersebut, topik yang disampaikan Bung Karno dinilai sangat relevan hingga saat ini.

Menurut Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan UIN Jakarta itu, Bung Karno meyakini sekali bahwa Api Islam (the spirit of Islam) sangat penting menjaga elan vital kaum muslimin bekerja membangun peradaban Islam. Ada keyakinan yang sangat teguh dari bung karno.

“Jadi api Islam harus terus menyala di dada setiap muslim jika ingin menjadi mercusuar bagi peradaban dunia. Jika api Islam surut maka umat Islam akan surut,” kata Arief dalam dalam acara Ngaji Bung Karno yang diselenggarakan Megawati Institute secara virtual, Jumat (23/4/2021).

Arief menjelaskan, bahwa dalam teks pidato Bung Karno itu tersirat pesan bahwa Bung Karno membedakan Islam yang normatif dan historis. Islam normatif adalah Islam sebagai ajaran, doktrin sebagaimana tercantum dalam Alquran dan Sunah.

“Nah dalam Pidato tersebut, Bung Karni menyebut bukan Islam tapi umat Islam. Dan ini Islam historis,” kata Arief.

Dalam kajian Islam, papar Arief, ada Islam yang normatif. Disini orang belajar mengenai teks, doktrin dan tafsir. Kedua ada Islam historis, di sini mengkaji bagaimana perkembangan masyarakat Muslim.

Yang dimaksud Bung Karno adalah masyarakat Muslim yakni Islam Hostoris. Ini pembagian yang menunjukkan satu pemahaman mendalam Bung Karno mengenai Islam.

Dia tidak menyebut Islam itu mundur, Islam itu maju tapi Umat Islam itu maju. Ini suatu model pengkategorian yang sampai hari ini tetap digunakan dalam Studi Islam.

“Jadi menurut saya ketika Bung Karno menyebut Umat Islam menunjukkan satu hal yaitu kedalaman pemahaman Bung Karno pada Islam, atau keyakinan Islam sebagai doktrin itu unggul. Ini keyakinan yang tampak pidato itu. Atau dalam bahasa santri disebut Islam itu ya’luu walaa Yu’laa alaih. Bahwa Islam itu unggul, universal tetapi dalam konteks historisnya Umat Islam bisa terbelakang dan terpuruk jika tidak memiliki Api Islam dalam dadanya,” paparnya.

Dan ini terbukti, keterbelakangan dunia Islam karena aspek-aspek karena kesenjangan antara ajaran dan apa yang dialami kaum Muslim. Jadi Islam historis inilah yang menjadi perhatian Bung Karno.

Selanjutnya penekanan Api Islam terkait Islam yang substantif dan penolakan terhadap formalisme Islam atau Islam yang bersifat simbolis. Jadi dengan menekankan Api Islam ini, Bung Karno ingin penghayatan terdapa ISlam bersifat substantif. Tidak harus diwujudkan dalam bentuk simbol. Tapi Islam sebagai satu culture yang dihayati semangatnya dan menjadi modal untuk membangun peradaban Indonesia.

Hebatnya Bung Karno tidak menggunakan kategori Islam Formal secara kaku. Karena Bung Karno juga menggunakan Islam dalam bentuk budaya misalnya memperingati Maulid Nabi dan Isra Mikraj di Istana Negara.

“Itu sesungguhnya suatu indikasi Bung Karno mengunakan simbol bahwa Indonesia adalah negara teologis, negara yang beragama. Itu ada di awal pidatonya,” jelasnya.

Ketiga Bung Karno mengajak Umat Islam melakukan refleksi dengan menjaga kekuatan rasional dan imajinasi agar Api Islam tetap menyala. Dalam pidatonya dia menggunakan kata ‘the world of the mind’, dunia pikiran sebenarnya. Ini yang digunakan mentransendensikan diri dari sifanya lokal atau beranjak dari kungkungan lokal.

Bung Karno secara implisit mengajak agar anak pesantren memiliki wawasan internasional. Implikasinya mahasiswa IAIN yang banyak berlatar belakang santri jadi alat dan anak tangga melakukan mobilitas sosial.

Rata-rata di tahun itu, anak pesantren tidak punya akses baik dan tidak banyak tahu pengetahuan umum. “Ajakan Bung Karno jangan hanya berfikir lokal tentang pesantrennya, imajinasi berdialog dengan lingkungan luar,” terang dia.

Keempat Bung Karno menyakini Islam agama universal. Caranya menyuruh santri belajar ke dunia luar, ke Jerman China dan negara lainnya.

Terakhir, apresiasi dan inspirasi Bung Karno terhadap pemikir Muslim. Satu argumen soal tersebut bagaimana aresiasi terhadap pemikir pembaharu Muslim seperti Moh Abduh dan Rasyid Ridha dalam melawan kejumudan berpikir. [] Akurat.co