Multatuli dan Marx Melihat Pengisapan

Megawati Institute mengadakan diskusi serial bertema “Multatuli versus Marx tentang Pengisapan” yang diisi oleh alumni Sekolah Pemikiran Pendiri (SPPB), angkatan X. Diskusi pembukanya dilaksanakan pada Rabu, 30 Agustus 2023 via Zoom dengan menghadirkan Bonatua Silalahi sebagai narasumber dan Dida Darul Ulum sebagai moderator.

Eduard Douwes Dekker dengan menggunakan nama samaran “Mutatuli” menulis novel Max Havelaar yang terbit pada 1860. Karya tersebut merupakan kritik satire antikolonial dari seorang warga negara Belanda terhadap pemerintahnya sendiri. Tidak lama setelahnya, Karl Marx juga menulis Das Kapital Volume I: A Critical Analysis of Political Economy pada 1864. Dua buku tersebut berangkat dari premis yang sama, yakni apa yang kita sebut sebagai pengisapan alias eksploitasi.

“Meski demikian, ada konteks-konteks tertentu yang membedakan keduanya,” kata Bona, “Multatuli melihat pengisapan berangkat dari fenomena korupsi upah tanam paksa dengan menceritakan kewajiban penduduk menanam kopi, teh, atau tebu di 1/5 luasan tanahnya secara gratis dan gubernur hanya  memberi upah tanam yang disampaikan melalui Bupati. Namun, itu pun tidak sampai ke mereka alias dikorupsi.”

Sementara itu, Marx melihat pengisapan berangkat dari fenomena perdagangan budak. Ia menceritakan perdagangan manusia di Banyuwangi (1750 s/d 1811) dengan volume sekitar 1.000 orang per tahun di mana para lelaki dipaksa Pangeran Pribumi, dikirim ke Kota Makassar lalu dirantai dan dimasukkan ke penjara rahasia agar tidak bisa kabur sambil menunggu kapal perbudakan menjemput untuk dibawa ke perkebunan tuan pemilik modal. Dari dua konteks ini, kita bisa melihat benang merah, yaitu adanya keterlibatan pejabat-pejabat lokal.

Bona juga memaparkan dampak dari kedua titik keberangkatan tentang pengisapan ini menurut Multatuli dan Marx. Pertama, terkuaknya praktik tanam paksa yang menarik Pieter Brooshoft (1887) berkunjung langsung ke Hindia Belanda dan mengusulkan perlunya politik balas budi. Kedua, pergolakan antara kapitalisme dan sosialisme.

Banyak hal yang disinggung Bona tetapi intinya adalah bahwa jejak literatur 85 tahun sebelum Indonesia merdeka, Multatuli & Karl Marx telah mengungkapkan keprihatinan nasib leluhur bangsa kita. Pengisapan tenaga penduduk oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanam paksa di Lebak dan perdagangan ribuan penduduk (budak) di Banyuwangi oleh pangeran pribumi benar ada.