Agama dan Negara dalam Pandangan Para Pendiri Bangsa

Salah satu pembahasan penting dalam Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa (SPPB) adalah tema agama dan negara pada Selasa, 09 November 2021. Khususnya dalam pandangan para pendiri bangsa, antara lain, Haji Agus Salim dan Mohammad Natsir. Karena itu, membincang tema tersebut akan selalu relevan sampai kapan pun mengingat tema ini selalu mengalami pasang surut

Abdul Hakim, yang fokus pada kajian-kajian/gerakan-gerakan Islam kontemporer menjadi narasumbernya. Menurut Hakim, wacana terkait agama, khususnya Islam, dan negara merupakan wacana “abadi” selama gerakan-gerakan Islam masih ada. Wacana yang tadinya kita anggap selesai ternyata muncul lagi ke permukaan, antara lain, karena gerakan-gerakan aspiran Islam sejak kemerdekaan hingga saat ini.

Wacana-wacana atau gerakan Islam tersebut biasanya dilatarbelakangi sebuah idiom populer yang kita sebut sebagai Islam kafah. Konsep Islam kafah ini sering diintroduksi ke dalam perebutan kekuasaan, terutama dalam konteks Islam dan negara di Indonesia.

Konsep kafah ini, menurut Hakim merupakan sebuah pandangan bahwa Islam harus dipeluk secara menyeluruh, komprehensif, lengkap, dan semua prinsip di dalam Islam dianggap menjawab semua persoalan, baik persoalan yang bersifat duniawi maupun persoalan yang bersifat ukhrawi.

 Sebenarnya ada pergulatan muncul dalam wacana Islam dan negara, antara lain, pergulatan di ranah domestik dan para pendiri bangsa berhadapan dengan fakta bahwa negeri-negeri Muslim mengalami kemerdekaan di awal abad kedua puluh.

“Jadi, kalau isu negara-bangsanya sendiri secara filosofis sebenarnya adalah sesuatu yang baru. Tidak pernah dikenal di dalam tradisi kekuasaan orang-orang Muslim di berbagai wilayah bahwa ada sebuah negara modern yang secara administratif dan prinsip-prinsip organisasi kekuasaannya yang seperti mereka temukan,” kata Hakim.

Hal ini disebabkan konsep kekuasaan di wilayah-wilayah Muslim sebelum abad dua puluh menjelma dalam bentuk kesultanan atau kekhalifahan. Begitu pun wilayah Nusantara di mana kekuasaan-kekuasaan Islam didominasi oleh kesultanan. Di samping itu, tradisi sufisme memberikan sumbangan kepada Islam Indonesia sehingga peralihan kekuasaan menuju negara republik tidak mengalami pertentangan berarti.

Hakim juga menyinggung gerakan-gerakan Islam masa kini di mana politik identitas menjadi komoditas dalam setiap kontestasi kekuasaan.