Memberdayakan Ekonomi Perempuan

Dalam setahun terakhir, saya menghadiri tiga focus group discussion (FGD) yang semuanya membahas pemberdayaan ekonomi perempuan. FGD pertama merupakan program Megawati Institute untuk pelaku usaha perempuan mikro dan kecil (20/03/2015). Diskusi ini berusaha menggali dukungan sosial (social support) apa saja yang dibutuhkan perempuan dalam mengembangkan usahanya.

FGD kedua merupakan undangan dari World Bank yang mengangkat tema pembaruan strategi kelompok bank dunia mengenai gender (22/06/2015).  Diskusi yang berjalan selama dua jam ini tidak hanya membahas tantangan dan hambatan terkait gender, tapi juga rekomendasi mengenai akses perempuan dan anak kepada sektor jasa dan pasar. Tujuannya adalah pengentasan kemiskinan dan pemerataan kesejahteraan bagi perempuan.

Sedangkan, FGD terakhir adalah upaya yang saya rasa paling konkret (09/09/2015). Diskusi yang diselenggarakan MCA-Indonesia ini berusaha menyusun definisi formal usaha dan perusahaan milik perempuan. Kenapa saya katakan konkret? Karena terdapat upaya regulasi yang melibatkan beberapa stakeholder, seperti Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), dan Badan Pusat Statistik (BPS).

Kewirausahaan perempuan memang menjadi topik menarik belakangan ini. Khususnya karena pemerintah Jokowi-JK berusaha menggenjot perekonomian melalui kewirausahaan. Namun, sayangnya perhatian pemerintah terhadap perempuan tidak diimbangi dengan pemahaman mereka akan kesetaraan gender. Salah satu contohnya tampak dari pernyataan JK mengenai pengurangan jam kerja pegawai perempuan pada tahun lalu.

JK mengungkapkan bahwa pengurangan jam kerja diperlukan agar perempuan bisa memiliki waktu lebih untuk mendidik dan mengasuh (parenting) anak. Pernyataan ini setidaknya menyiratkan dua hal. Pertama, afirmasi beban ganda (double burden) yang ditanggung perempuan. Pasalnya, perempuan harus menghadapi beban kerja tambahan karena mereka masih harus menjalankan tanggung jawab rumahtangga setelah bekerja seharian.

Beban ganda tidak hanya menghinggapi perempuan yang bekerja sebagai pegawai tapi juga mereka yang berwirausaha. Karena adanya mindset bahwa mereka memang seharusnya mengurus rumahtangga, wirausaha perempuan yang masih pada tataran mikro akan cenderung pasif dalam mengembangkan usahanya dan kurang melakukan inisiatif. Motivasi mereka akhirnya berujung pada pemenuhan kebutuhan rumahtangga semata.

Kedua, subordinasi peran perempuan. Perempuan dianggap tidak perlu menjadi profesional karena hasil kerja atau usaha mereka hanyalah sampingan atau bukan sumber penghasilan utama.

Bagi perempuan wirausaha mikro khususnya, subordinasi yang terjadi pada tataran rumah tangga berakibat pada pembatasan gerak mereka. Artinya, selama aktivitas usaha tidak banyak dilakukan di luar rumah, mereka dapat terus melanjutkan usahanya. Dari sinilah, etos kerja dan integritas perempuan sebagai pribadi yang mandiri tidak dapat terbentuk.

Beberapa gambaran tersebut cukup menjelaskan bahwa perlu adanya perubahan mindset dan kultur yang dibangun dalam mendorong pemberdayaan perempuan. Karena itu, perubahan ini seharusnya menjadi bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) yang dikampanyekan Kementerian Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (KEMENKO PMK). Hal utama yang harus diubah adalah bagaimana menghancurkan maskulinitas yang terlanjur tumbuh di masyarakat.

Pada kasus pendidikan dan pengasuhan anak seperti yang disinggung sebelumnya, penekanan peran pengasuhan hanya pada perempuan justru akan melanggengkan maskulinitas. Akibatnya, laki-laki tidak merasa perlu terlibat secara maksimal dalam pengasuhan anak sehingga daya asuh dan asih mereka pun tidak berkembang. Dengan kata lain, falsafah bangsa kita akan pentingnya silih asuh dan silih asih terancam pudar.

Adanya peran yang berimbang antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga otomatis akan mendorong pemberdayan perempuan dalam pembangunan. Dalam keluarga khususnya, semangat gotong royong akan tumbuh. Hal ini beriringan dengan kuatnya integritas dan etos kerja perempuan. Dengan demikian, profesionalitas perempuan dalam bekerja dan berwirausaha tidak perlu diragukan lagi.

Namun ada satu hal yang perlu diperhatikan. Gerakan nasional tersebut tidak boleh sebatas wacana yang berhembus dari seminar ke seminar. Gerakan ini harus membumi dan berkelanjutan agar mudah dipahami dan diterima masyarakat. Karena itu, sosialisasi GNRM melalui metode swakelola pihak ketiga harus dilakukan pemerintah secara selektif dan diukur efektifitasnya. Jangan sampai, niat baik pemerintah ini berujung pada langgengnya mentalitas “proyekan” di masyarakat.

 

sumber: qureta.com