Ekonomi Pancasila dan Tantangannya

Pada Rabu, 14 Maret 2018, Megawati Instittute mengadakan kelas pembuka Sekolah Pemikiran Ekonomi Pancasila (SPEP) yang pertama. Bertempat di Jl. Proklamasi No. 53, Menteng, Jakarta Pusat, tema pembahasan pada pertemuan tersebut adalah “Sistem Ekonomi Pancasila dan Tantangan Mewujudkannya” disampaikan Dr. Arif Budimanta selaku direktur eksekutif Megawati Instittute.

Arif menjelaskan bahwa sistem Ekonomi Pancasila adalah sistem pengaturan hubungan antarnegara dan warga negara yang ditujukan untuk memajukan kemanusiaan dan peradaban, memperkuat persatuan nasional melalui proses usaha bersama/gotong royong, dengan melakukan distribusi akses ekonomi yang adil bagi seluruh warga negara yang dilandasi oleh nilai etik pertanggungjawaban  kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Ada 5 komitmen negara dalam Ekonomi Pancasila. Pertama, pasar yang adil. Kedua, penurunan tingkat ketimpangan. Ketiga, penurunan tingkat kemskinan dan pengangguran. Keempat, kesetaraan akses untuk kehidupan dan penghidupan yang lebih baik. Kelima, peningkatan kualitas hidup (pendidikan dan kesehatan).

Menurut Arif, operasionalisasi Ekonomi Pancasila pada sila pertama, memberikan pendasaran akan pentingnya spirit teistik yang menekankan etika dan moral bangsa dalam perekonomian. Dengan kata lain, perekonomian harus memiliki landasan etis dan pertanggungjawaban kepada Tuhan.

“Karena itu, Ekonomi Pancasila digagas dan dibangun berdasarkan pertimbangan moral dan etika religius. Dengan demikian, Ekonomi Pancasila meniscayakan nilai-nilai kebaikan dan  kedermawanan, serta hukum sipil yang tegak untuk menindak ketidakadilan,” katanya.

Pada sila kedua, sebagai konsekuensi logis dari sila pertama, kemanusiaan yang adil dan beradab, Arif menekankan pembangunan ekonomi yang tidak hanya sebatas mengejar prestasi atau penilaian secara material saja, tetapi juga berorientasi pada keadilan dan kemajuan peradaban  manusia Indonesia.

Dengan demikian pengembangan kualitas hidup manusia dan akses yang adil terhadap kesempatan tersebut harus dijunjung tinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sila ketiga menekankan persatuan Indonesia. Ekonomi Pancasila digagas untuk mempersatukan bangsa. “Apabila kemudian kebijakan ekonomi justru memudarkan semangat persatuan bangsa, maka kebijakan tersebut pastilah bukan bercorak atau bercirikan Ekonomi Pancasila,” jelas Arif.

Regulasi yang dihasilkan oleh negara, harus mampu meningkatkan ketangguhan dan kedaulatan ekonomi nasional. Beberapa kebijakan yang muncul di negara, ada yang disebut alokasi dana khusus dalam konteks kesatuan nasional juga dalam rangka mencapai ekonomi yang berdaulat.

Pada sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, ditekankan mekanisme kerja perekonomian yang mendahulukan kepentingan rakyat di atas kepentingan individu/golongan/ modal. Selain itu,  sistem ekonomi harus mampu menciptakan kondisi kehidupan yang layak bagi seluruh warga negara.

Dengan demikian, pemerintah harus mampu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan ekonomi dan kelayakan hidup di masyarakat.

Sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, merupakan hasil capaian dari tahapan-tahapan empat sila lainnya dalam menuju keadilan sosial. Dengan prinsip keadilan sosial, Ekonomi Pancasila digagas untuk memberikan pemerataan pembangunan dan mendorong terciptanya emansipasi sosial.

“Sebab, keadilan adalah nilai universal kemanusiaan. Dalam konteks ini, setiap warga negara Indonesia harus mendapatkan kesempatan terbuka menuju kesejahteraan bersama. Sehingga, perekonomian mampu menciptakan pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berdasar pada potensi dan kearifan lokal, serta terciptanya kesempatan yang adil bagi seluruh lapisan masyarakat,” jelas Arif.

Arif Agustin – MI