Paradigma Ekonomi Politik Bung Karno, Tekankan Manusia Makhluk Sosial

Patung Presiden ke-1 RI Soekarno terpajang di Gedung Kementerian Pertahanan, Jakarta, Minggu (6/6/2021). Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto meresmikan patung Soekarno atau Bung Karno di Gedung Kementerian Pertahanan. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Megawati Institute menggelar diskusi bertajuk, Diskusi Pemikiran Ekonomi Bung Karno secara virtual. Pada kesempatan itu, Direktur Eksekutif Megawati Institute Arif Budimanta mengulas pembahasan dengan merujuk pada pelidoi ‘Indonesia Menggugat’ yang disampaikan Bung Karno pada 18 Agustus 1930 di Pengadilan Landraad, Bandung.

“Bung Karno melihat manusia ya dalam kehidupan, dalam sistem ekonomi, bukan hanya sebagai individu semata, tapi juga sebagai makhluk sosial. Jadi sejak awal Bung Karno dalam perspektif ekonomi menentang, dalam tindakan ekonomi itu paham individualisme. Sama juga Bung Hatta, menentang paham individualisme. Kita harus membedakan apa individualita, apa yang dimaksud indivualisme,” tutur Arif dalam diskusi virtual, Minggu (26/6/2022).

Menurut dia, isme dalam individualisme bermakna nafsu, yang juga diistilahkan oleh Bung Karno sebagai paham imperialisme dan kapitalisme. Sementara makna lita dalam individualita artinya memiliki batas atau limitasi tertentu dalam konteks pemenuhan kehidupan berbasis individu.

“Kemudian yang kedua, posisi manusia sebagai makhluk ekonomi, Bung Karno lebih menekankan manusia kepada makhluk sosial dan sekaligus makhluk Tuhan, dibanding sebatas individu yang mengambil tindakan ekonomi hanya sebatas insentif material,” jelas dia.

Arif menyatakan, manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk Tuhan merupakan gagasan penting Bung Karno dari segi ekonomi. Sementara dalam perspektif ekonomi modern, kebanyakan meletakkan manusia sebagai individu yang bergerak dalam aktivitas ekonomi apabila ada insentif, khususnya insentif material.

“Nah Bung Karno nggak bisa begitu. Karena itu adalah jalan menuju individualisme, jalan menuju kapitalisme, jalan menuju imperialisme. Kira-kira dalam pemahaman Bung Karno dalam pleidoi Indonesia Menggugat begitu,” katanya.

Dalam Indonesia Menggugat, lanjut Arif, Bung Karno melihat dan memahami, pasar pada 1930 bukanlah sebuah titik keseimbangan atau titik pertemuan antara permintaan dan penawaran, namun sebagai arena sosial sekaligus arena politik, kontestasi, pertarungan, bagi kaum tani kecil, kaum pedagang kecil, kaum pelayar kecil, kaum kromo, hingga kaum marhaen.

“Pada 1930 itu berhadapan dengan surplus kapital yang datang dari luar Indonesia, yang ingin mencari lapangan untuk penanaman kapital, dan pasar barang dan jasa. Jadi Bung Karno melihat bagaimana surplus kapital di suatu tempat itu bergerak mencari di tempat lain, arena lain, sekaligus juga untuk menguasai pasar barang dan jasa suatu wilayah. Jadi pasar dalam pemahaman atau perspektif Bung Karno adalah suatu arena politik, arena kontestasi, terutama kontestasi antara kekuasaan dan modal,” ujar Arif.

Nanda Perdana Putra

Sumber: Liputan6