Membincang Metode Jakarta

Megawati Institute kembali mengadakan diskusi publik secara virtual via Zoom dengan tema
“Pembantaian Massal dengan Metode Jakarta” pada Jumat, 07 Oktober 2022. Di sesi kali ini,
hadir sebagai narasumber, Dr. Arif Budimanta (Direktur Eksekutif Megawati Institute),
Airlangga Pribadi, Ph.D (Dosen Universitas Airlangga), Reno Koconegoro (Peneliti Sigmaphi)
yang dipandu oleh Dida Darul Ulum, M.Ud (Peneliti Megawati Institute).

Sebagai pembuka, Dida mengawali diskusi dengan memberikan prolog bahwa buku The
Jakarta Method dari Vincent Bevins yang terbit pada tahun 2020 ini menjadi buku yang
membahas cukup detail mengenai perang ideologi, di mana antikomunisme yang ada di
Amerika Serikat diberlakukan agar perang ideologi ini dimenangkan oleh Amerika itu sendiri.
Terutama dalam konteks negara-negara dunia ketiga, khususnya Indonesia pada tahun
1960-an. Seperti yang disinggung oleh Bevins, itu merupakan masa-masa yang sangat kelam
dalam sejarah bangsa Indonesia ini.

Di awal Diskusi, Reno menjelaskan bahwa dalam konteks diskusi ini, ada tiga hal yang perlu
ditekankan. Pertama adalah konteks Nekolim Ekosistem Global, kedua adalah Gestok/G30S,
dan terakhir adalah dampak domestik dan internasional.

Airlangga menambahkan bahwa karya yang ditulis Bevins ini berangkat dari keterkejutannya
mengenai dua fenomena yang terjadi di Brasil dan di Indonesia. Di Indonesia, pada
pertengahan 2000-an, dia menyaksikan begitu mudahnya gerakan-gerakan yang
memperjuangkan demokrasi, baik demokrasi politik juga demokrasi ekonomi oleh kalangan-
kalangan reaksioner yang justru dicap sebagai komunis.

Demikian juga halnya pada tahun 2014 di mana terjadi proses upaya bersama dari kalangan
elite reaksioner dari Brasil untuk menjatuhkan presiden yang terpilih secara demokratis
bernama Dilma Rousseff.

“Yang mengejutkan,” kata Airlangga, “Jair Bolsanaro menyatakan bahwa suara saya untuk
menyatakan impeachment terhadap Dilma Roussef saya dedikasikan kepada salah seorang
kolonel. Nah, kolonel itu sebenarnya yang mengorganisir pembantaian migrasi. Dan,
termasuk ketika Dilma Rousseff itu menjadi aktivis demokrasi yang memimpin dan
menginstruksikan persekusi dan penyiksaan terhadap dirinya.”

Sebetulnya apa yang terjadi pada era Lula da Silva sampai Dilma Roussseff bukanlah gerakan
komunis. Bahkan, menurut Airlangga, di kalangan akademisi intelektual dikritik karena
dianggap terlalu bersahabat dengan kekuatan korporasi internasional. Sehingga, da Silva
kemudian distigma dan Dilma Rousseff ini disematkan sebagai kelompok kiri. Hal ini karena
dalam upaya untuk menyesuaikan pembangunan yang ada di Brasil dengan konteks global,
ia tetap mendedikasikan kebijakannya untuk kepentingan rakyat banyak.

Sementara itu, Arif memandang bahwa buku Bevins ini kalau dilihat dari perspektif
geopolitik, geostrategi, dan geoekonomi, pertama menunjukkan posisi Indonesia yang

sangat strategis di mata dunia sebagai satu wilayah nusantara yang menjadi tempat
persilangan antarsamudra dan antarbenua. Itu juga yang sering dijelaskan oleh Bung Karno.
Di dalam posisi yang strategis itu, yang kedua, Indonesia memiliki kekayaan alam tropis yang
diperlukan oleh negara-negara, dalam konteks ini, adalah negara-negara Barat. Maka, ada
proses ekspansi dari negara-negara Barat untuk mencari produk-produk Indonesia yang
kemudian ingin menguasai lahan-lahan Indonesia, menduduki dan membangun koloni di
Indonesia.

“Karena itu, yang ketiga, ada gerakan yang muncul untuk memerdekakan Indonesia dari
rakyat sendiri dan itu berhasil pada tahun 45 dan secara perlahan Indonesia melakukan
proses konsolidasi kemerdekaan itu bukan hanya konsolidasi masa tetapi juga konsolidasi
wilayah. Setelah proses konsolidasi masa dan wilayah selesai, secara bersamaan juga
Indonesia menggalang dukungan negara-negara lain, terutama dari negara-negara yang juga
terjajah, dari negara-negara dunia ketiga,” jelas Arif.