Islam dan Negara dalam Pandangan Para Pendiri Bangsa

Salah satu pembahasan penting dalam Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa adalah tema Islam dan negara pada Selasa, 17 September 2019. Khususnya dalam pandangan para pendiri bangsa, antara lain, Haji Agus Salim dan Mohammad Natsir. Karena itu, membincang tema tersebut akan selalu relevan sampai kapan pun mengingat Indonesia merupakan negara dengan mayoritas umat Islam. Hadir sebagai pembahas Abdul Hakim.

Menurut Hakim, ada dua arus penting Islam Indonesia yang harus dipahami yang mungkin jemaahnya paling banyak di luar teori yang  bersifat kompleks. Yang pertama adalah kelompok yang kita sebut sebagai kaum puritan dan modernis.

“Ada di mana-mana. Ada pemikirnya, ada  sekolahnya,  ada badan amalnya, dan juga punya persinggungan dengan politik. Itu kelompok yang menginginkan politisasi Islam. Dan biasanya secara kelembagaan mereka identifikasinya adalah kaum modernis,” katanya.

Dalam hal ini, kaum salafi-wahabi diidentifikasi sebagai kelompok yang puritan. Juga, kelompok tarbiah disebut identifikasinya sebagai kelompok puritan juga. Ikhwanul Muslimin misalnya terinspirasi dengan partai yang ada di Turki yang mana kelompoknya pun disebut dengan kelompok puritan.

“Jadi, kelompok puritan ini  jemaahnya banyak, jelas anggotanya dan bisa kita lihat nanti. Dan, kita bisa cek sendiri dan akan bertemu di mana-mana orang-orang semacam ini,” tambahnya.

Sementara itu, yang kedua adalah kelompok yang tidak memiliki artikulasi politik begitu kuat secara kelembagaan. Itu adalah kelompok yang kita sebut sebagai sufisme, kelompok tasawuf yang mana itu sama-sama memiliki pijakan kuat di dalam  Islam Indonesia. Dan, dua jenis itu atau dua trayek itu sebenarnya yang paling besar pemilihnya.

Menurut Hakim, pemetaan dua kelompok ini berdasarkan pembacaan melalui observasinya sebagai seorang muslim yang terlibat langsung dalam kegiatan keislaman, keagamaan berkeliling Indonesia, bertemu dengan banyak kiai dari berbagai pesantren, dan sebagainya.

“Jadi, nanti kalau yang diskusi bersifat buku, bisa langsung kita bahas. Namun, dua trayek besar tetap relevan. Kalau mau dibikin semacam sesuatu yang sederhana, yang pertama adalah kelompok puritan yang modernis, sementara yang kedua adalah kelompok yang kita sebut sebagai tarekat/tasawuf, kelompok yang terafiliasi dengan sufisme,” jelasnya.

Hal ini pun memiliki pengaruh berbeda dalam politik. Yang satu menginginkan sebuah kelembagaan formal, sementara yang lain tidak menginginkan sebuah kelembagaan formal. Selain itu, Hakim juga menyinggung konsep negara dan agama dalam pemikiran Sukarno. Menurutnya, Sukarno memiliki gagasan cemerlang terkait bagaimana ia bisa mendamaikan hubungan antara dua kelompok tersebut.

Dida Darul Ulum – MI