Kesetaraan Bukanlah Omong Kosong

Bincang akhir pekan Megawati Institute kembali hadir pada Minggu, 22 Mei 2022, dengan tema “Basis-Basis Sejarah Menuju Kesetaraan”. Bincang ini fokus membahas buku A Brief History of Equality (2022) dari Thomas Piketty bersama Dr. Arif Budimanta (Direktur Eksekutif Megawati Institute), Airlangga Pribadi, Ph.D (Dosen Ilmu Politik Universitas Airlangga),  Fachru Nofrian, Ph.D (Redaktur Prisma, Associate LP3ES) sebagai para pemantik diskusi yang dimoderatori Dida Darul Ulum, M.Ud (Peneliti Megawati Institute).

Dida membuka dengan memberi analisis bahwa sejak abad 18, ada kecenderungan jangka panjang menuju kesetaraan, tetapi tetap saja terbatas dalam cakupannya. Untuk menegaskannya, kecenderungan menuju kesetaraan tersebut bukanlah bualan kesuksesan melainkan sebuah upaya untuk melanjutkan perjuangan dengan dasar sejarah yang kokoh.

Airlangga memaparkan bahwa kalau kita mau melihat kajian-kajian penting  secara historis atau menyejarah, banyak hal yang bisa ditangkap secara penting pada karya Piketty dibanding dua karya sebelumnya.

“Pada dua buku sebelumnya itu memunculkan kontroversi terutama di kalangan kritikus ekonomi politik, yaitu kalangan yang lebih dekat dengan perspektif Marxis. Tapi, titik tekan yang dikedepankan Piketty sebenarnya pada titik kemakmuran. Baik kemakmuran pada sektor properti, uang, modal dan lain-lain,” jelasnya.

Dalam pandangan Fachru, gambaran besar dalam bahasan ini secara umum menyoroti isu tentang using social and political situation, embedding economics in society, will be confusing to economist political science, reading the book open the maind, the importance of equality in long-term: long-term movement toward equality but inequality continues to be very high, and History: Colonialism.

Sementara itu, Arif menyatakan bahwa buku tersebut merupakan sebuah pemadatan pikiran Piketty dengan premis dasar: apabila ada sekelompok golongan orang yang pertumbuhan kekayaannya itu lebih besar dari pertumbuhan nasional, maka kemudian ini akan berpotensi menimbulkan ketidakadilan atau ketidaksetaraan.

Mengapa ini terjadi? Menurut Arif, dalam riset yang dilakukan Piketty, hal tersebut terjadi karena persoalan pendidikan, upah, dan kemudian warisan. Mereka yang berpendidikan rendah biasanya akan mendapatkan upah lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang berpendidikan lebih tinggi.

“Apalagi, mereka yang berpendidikan tinggi datang dari keluarga yang kaya raya yang kemudian juga mendapatkan warisan. Maka, ini juga akan menimbulkan satu fenomena ketimpangan yang terus menerus,” lanjutnya. Arif Agustin