Pada Selasa, 3 Januari 2023, Megawati Institute kembali menggelar kelas Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa angkatan ke-10 dengan tema “Deklarasi Djuanda”. Hadir sebagai narasumber Dr. Phil. Shiskha Prabawaningtyas dari Paramadina Graduate School of Diplomacy.
Shiskha mengawali dengan konsep dasar dari Deklarasi Djuanda yang terdiri dari empat konsepsi. Pertama mengenai identitas teritorial, kedua mengenai jenis kepemimpinan Djuanda, ketiga geopolitik dunia setelah Konferensi Asia-Afrika dan terakhir mengenai keputusan keluar dari Konferensi Meja Bundar.
Mengenai identitas teritorial, Shiskha membubuhkan pandangan Muhammad Yamin dan Soekarno. Muhammad Yamin dalam penjelasannya mengatakan, “Teritorial tanpa kantung: bulat ke dalam dan juga bulat ke luar.”
Lalu, dalam pandangan Soekarno mengenai identitas teritorial:
“Tempat itu, yaitu tanah air. Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah SWT membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan di mana “kesatuan-kesatuan” di situ. Seorang anak kecil pun, jikalau ia melihat peta dunia, dia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau di antara 2 lautan yang besar, Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, dan di antara dua benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatra, Borneo, Selebes, Halmahera adalah satu kesatuan … menurut geopolitik, maka Indonesialah tanah air kita Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah SWT menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudra, itulah tanah air kita!”
Shiskha menambahkan bahwa ada beberapa poin penting dalam eskalasi politik domestik sebelum Deklarasi Djuanda 1957 yaitu mengenai mundurnya Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 1956, Status Darurat Militer 14 Maret 1957, Tjikini Affair 30 November 1957, SOBSI (Serikat Buruh Seluruh Indonesia) yang menduduki perusahaan-perusahaan Belanda termasuk KPM pada 3 Desember 1957.
Selain itu, ada juga rapat spesial kabinet pada 5 Desember 1957 yang berisi nasionalisasi perusahaan Belanda, menutup konsulat Belanda, evakuasi pekerja Belanda ke negara Belanda, likuidasi transfer profit perusahaan Belanda. Lalu, pada 8 Desember 1957, ada perjanjian repatriasi Indonesia-Jepang US$ 225,444,000 dan US$ 400,000,000 kerja sama ekonomi dalam 20 tahun.
“Pemberitaan (1) pengerahan 2 skuadron pesawat AL termasuk jet fighter Belanda ke Irian Barat (Merdeka, 12 Desember 1957), (2) pengerahan anti-kapal selam Belanda: Groningen dari Singapore, Drente, dan Everston, 3) Royal Interocean Lines “tertangkap” berisi senjata. Rapat Kabinet: 13 Desember 1957 pukul 08.00 pagi. Dan, terakhir catatan Soekarno pukul 11.00 pagi,” jelas Shiskha.
Banyak hal yang dieksplorasi Shiskha dalam menjelaskan dinamika wacana yang berkembang di seputar Deklarasi Djuanda ini. Di antaranya, dokumen resmi deklarasi tersebut yang masih menjadi misteri sampai saat ini.