Megawati Institute – Pertemuan keenam Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa (SPPB), angkatan X, berlangsung pada Selasa, 13 Desember 2022. Hadir sebagai pemateri Ruth Indiah Rahayu dengan tema Sarinah Bung Karno di Megawati Institute.
Selain penulis, Sukarno merupakan seorang yang menitikberatkan pada aksi politik ketimbang sebagai seorang akademisi. Karena itu, tulisan Sukarno pada buku Sarinah ini lebih bersifat pamflet. Pamflet yang dimaksud di sini adalah merupakan gerakan aksi. Sebenarnya tulisan Sukarno pada buku Sarinah ini hanya untuk menggerakkan massa perempuan agar bangkit membangun revolusi sosialis.
Secara teoretis, ketika Sukarno meneliti tentang pembagian kerja secara seksual, atau sekarang lebih dikenal dengan pembagian gender, dia merujuk kepada Engels walaupun beliau tidak terang-terangan mengatakan bahwa secara analisis penindasan dan ketimpangan terhadap perempuan atau dalam bahasa sekarang dikenal dengan ketidaksetaraan bahkan penindasan secara gender.
Ruth menceritakan bahwa akses genealogi pemikiran yang didapat Sukarno saat itu melalui persinggungan para karibnya yang kuliah dan belajar di sekolah Belanda. Jadi, dari sana pulalah Sukarno banyak mendapatkan buku-buku, termasuk buku yang ditulis oleh Angels.
“Sarinah merupakan buah pemikiran Sukarno mengenai gerakan perempuan yang jarang dikaji secara komprehensif dan mendalam, baik sebagai teori maupun sebagai tindakan politik. Generasi baru yang lahir pada masa Orde Baru hanya sedikit yang tahu bahwa Sukarno telah mengeluarkan pandangan dan menyusun teorinya tentang gerakan perempuan untuk Indonesia sejak 1928,” tambahnya.
Sebaliknya, selama ini kita mengenal Sukarno tak lebih dari tabiat poliginisnya yang bertentangan dengan politik gerakan perempuan secara umum, ketimbang gagasan majunya mengenai gerakan pemikiran Sukarno mengenai gerakan perempuan terlibat dalam persembunyian waktu.
Gagasan yang Sukarno tuangkan dalam Sarinah ini mempunyai kaitan dengan artikelnya menyambut Kongres Kaum Ibu yang terselenggara pada 22 Desember 1928. Satu kaitan itu, kata Ruth, ialah mengenai keadaan perempuan di Hindia Belanda yang terbelakang, berikut gagasan mengenai arah perjuangan perempuan sebelum dan sesudah merdeka.
Tesis Sukarno ialah bahwa untuk mewujudkan kemerdekaan nasional tak mungkin dicapai tanpa adanya perjuangan perempuan di dalamnya dan sesudah kemerdekaan pun untuk menyusun negara dan masyarakat, tetap tak dapat diwujudkan tanpa perjuangan perempuan.
“Di dalam Sarinah yang diterbitkan pada 1947, problem yang diajukan Sukarno ialah bagaimana aktivitas perempuan-perempuan seharusnya mengisi perjuangan mewujudkan Republik yang merdeka? Problem ini dilandasi oleh keadaan bahwa soal wanita belum pernah dipelajari secara sungguh-sungguh oleh pergerakan nasional,” lanjut Ruth.
Problem ini berpijak dari kondisi materiil saat itu, sekalipun pergerakan perempuan telah ada dan turut dalam revolusi pembebasan nasional. Namun, pergerakannya masih pada lapisan borjuasi perempuan yang mengumandangkan persamaan hak.
Sedangkan ranah sosial yang mencangkup persoalan kerja relasi-relasi di dalam corak produksi kapitalis yang dihadapi tenaga kerja laki dan perempuan, belum bergaung keras. Saat itu kalangan wanita pekerja (working class) belum menjadi bagian dari wanita bergerak yang signifikan melawan ketidakadilan dalam kerja (industri dan pertanian) dan rumah tangga.
“Perempuan kelas petani juga masih diam di tengah hiruk pikuk perempuan borjuasi mengartikulasikan tuntutan persamaan hak. Kondisi ini meresahkan Sukarno karena, menurutnya, gerakan persamaan hak tidak mampu menjawab problem bagaimana mengubah struktur masyarakat Indonesia yang sebenar-benarnya merdeka,” jelas Ruth.