Membincang Pilpres di Korea Selatan dan Filipina

Megawati Institute mengadakan diskusi publik secara virtual dengan tema “Politik Ekonomi di Pilpres Filipina dan Korea Selatan” pada Selasa, 10 Mei 2022. Di sesi kali ini, hadir sebagai para narasumber, Dr. Arif Budimanta (Direktur Eksekutif Megawati Institute), Dimas Oky Nugroho (Pengamat Politik), Reno Koconegoro (Peneliti Sigmaphi) yang dipandu Dida Darul Ulum, M. Ud (Peneliti Megawati Institute).

Di awal diskusi, Reno menjelaskan bahwa tipologi pemilu yang ada di Filipina tidak jauh berbeda dengan yang ada di Indonesia. Dalam kandidat pemilihan presiden (Pilpres) Filipina, Ferdinand “Bongbong” Marcos pernah dihukum pada tahun 1995 karena penggelapan pajak saat menjadi pejabat publik, dan lawan politiknya mengatakan bahwa hal tersebut harus menjadi dasar untuk mendiskualifikasi Bongbong sebagai calon presiden.

Di sisi lain, kritikus banyak menyampaikan bahwa Bongbong telah menggunakan kekayaannya untuk menutupi sejarah kediktatoran ayahnya melalui platform media sosial. Serta di beberapa kesempatan menolak untuk mengambil bagian dalam beberapa debat televisi (prime time) dan wawancara media independen dengan alasan bias atau format tidak menguntungkan.

“Dalam sejarah modern Korea Selatan,” kata Reno, “penuh persoalan korupsi. Dan salah satu Pilpres yang terketat sepanjang sejarah Korea Selatan adalah terjadinya pembelahan secara wilayah, secara gender sekitar 60% di mana perempuan Gen Z mendukung kandidat progresif Lee Joe-myung dari partai demokrat sementara 60% laki-laki mendukung Yoon. Salah satu yang menjadi kontroversi adalah membubarkan kementerian urusan gender dan keluarga.”

Dimas menambahkan bahwa secara umum dunia sedang memasuki the age of the stong man as a leader, masa di mana muncul pemimpin-pemimpin kuat dalam sebuah negara yang tidak terbatasi dan memiliki figur dan karakter yang kuat, melampaui institusi-institusi yang membatasi mereka.

Sementara itu, Arif melanjutkan  dengan melihat konstitusi Pilpres di Filipina dan Korea Selatan yang mengatur masa jabatannya. Sepanjang yang diikuti, di keduanya hanya memiliki jabatan satu periode, sepopuler apa pun figurnya. Dan yang menarik, kata Arif, jumlah kandidatnya cukup banyak. Di Filipina, ada 14 kandidat kemudian di Korea Selatan  sekitar 10 kandidat.

“Dalam perspektif ekonomi, kedua negara tersebut pada tahun 1997, sama seperti Indonesia, mengalami apa yang disebut dengan Asian Financial Crisis. Jadi, krisis itu pertama dari Korea kemudian Thailand, Indonesia dan Filipina. Ada problem sama yang dihadapi yaitu krisis ekonomi di Asia terutama krisis keuangan,” jelas Arif.

Arif Agustin