Sepak bola adalah hal identik dengan Argentina yang merupakan bagian dari Amerika Latin. Namun, siapa sangka negara ini mengalami krisis ekonomi di tengah euforia kemenangan mereka dalam Piala Dunia 2022? Media-media nasional maupun internasional mencatat bahwa krisis ekonomi Argentina begitu parah karena inflasi tinggi yang menggerus daya beli masyarakatnya. Bahkan, untuk bertahan hidup, ada yang mengais makanan dari tempat sampah. Apa yang terjadi di sana? Kapan ini berakhir?
Pertanyaan-pertanyaan tadi dijawab dalam diskusi daring bertajuk “Krisis Ekonomi Argentina, Kenapa?” yang diselenggarakan oleh Megawati Institute pada Kamis, 28 Maret 2024 bersama Arif Amin yang merupakan alumnus Pascasarjana FEM IPB, Faishal Rahman dan Siti Khamila Dewi dari Sigmaphi, Policy Research and Data Analysis. Diskusi ini sendiri dipandu oleh Dida Darul Ulum dari Megawati Institute.
Kati memulai pemaparannya dengan menyajikan makalah “Rise and Fall of Argentina” dari Rok Spruk dari University of Ljubljana, Slovenia. Makalahnya membahas perkembangan ekonomi Argentina dalam perspektif sejarah jangka panjang dari pertumbuhan pesat yang terjadi selama Belle Epoque (akhir abad 19 hingga Perang Dunia 1 di 1914) dan transisi terkenal berikutnya dari negara kaya pada awal abad ke-20 menjadi negara terbelakang hingga saat ini.
Menurut Kati, jika tidak ada kerusakan kelembagaan, Argentina akan terhindar dari penurunan dan bergabung dengan negara-negara kaya dengan tingkat pendapatan serupa dengan Selandia Baru.
Sementara itu, Amin berbicara tentang konteks sejarah dan pentingnya institusi dalam menggambarkan apa yang terjadi di Argentina. Menurutnya, konsensus di antara para akademisi adalah bahwa lingkungan institusional secara signifikan membentuk pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.
“Apa yang ditulis Spruk menyelidiki peran lembaga-lembaga politik de jure (legal formal) dan de facto (praktik aktual) dalam pembangunan jangka panjang Argentina,” katanya.
Faishal berbicara dalam konteks sekarang dengan mengutip data dari Freedom and Prosperity Center yang mana alat ukurnya adalah Indeks Kebebasan (Freedom Index) dan Indeks Kesejahteraan (Prosperity Index). Freedom Indeks melihat tingkat kebebasan melalui ekonomi, politik dan hukum. Sementara, Indeks Kesejahteraan melihat tingkat kesejahteraan melalui kemampuan daya beli, kualitas SDM (pendidikan & kesehatan), kualitas lingkungan, dan kesejahteraan kelompok minoritas.