Pada Selasa 15 November 2022, Megawati Institute kembali mengadakan kelas pertemuan kedua pada program Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa (SPPB) angkatan ke-10. Pada pertemuan ini, hadir sebagai pembicara Bonnie Triyana yang berbicara tentang sejarah Jogja dan kedaulatan negara.
Di awal pertemuan, Bonnie memberikan satu pertanyaan mengapa ibu kota Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta. Lalu, dilanjutkan dengan sebuah penjelasan bahwa kondisi yang menyebabkan hal ini terjadi adalah kedatangan tentara sekutu ke Jakarta yang diam-diam membawa tentara NICA pada permulaan September 1945. Juga, situasi keamanan di Jakarta yang semakin membahayakan para pemimpin Republik Indonesia.
Selanjutnya, sering terjadi pertempuran kecil di beberapa lokasi di Jakarta yang melibatkan para pejuang republik melawan serdadu NICA. Sekutu dan NICA sering melakukan razia terhadap laskar-laskar republik. Dan, terakhir gangguan terhadap pemimpin republik yang sedang menjalankan pemerintahan republik di Jakarta tidak memungkinkan dilakukan di bawah penguasaan NICA.
Seiring perkembangan keamanan yang semakin tak menentu di Jakarta, pada 2 Januari 1946, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengirim surat kepada Presiden Sukarno. Dalam surat tersebut, dalam catatan Bonnie, HB IX menawarkan agar seluruh kepemimpinan Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta dan menjadikan kota tersebut sebagai ibu kota Republik Indonesia.
“Tak hanya itu, HB IX pun merelakan diri untuk membiayai gaji pegawai negeri pemerintah Republik Indonesia selama mereka beraktivitas di Yogyakarta,” katanya.
Pada 5 September 1945, Sri Sultan HB IX menyatakan amanatnya untuk berdiri bersama Republik Indonesia yang diproklamasikan kemerdekaannya pada 27 Agustus 1945. Amanat itu terdiri atas tiga pokok. Pertama, Ngayogyakarta Hadiningrat berbentuk kerajaan yang merupakan Daerah Istimewa, bagian dari Republik Indonesia. Kedua, segala kekuasaan dalam dan urusan pemerintahan berada di tangan HB IX.
“Ketiga, hubungan antara Ngayogyakarta Hadiningrat dengan pemerintahan negara Republik Indonesia bersifat langsung dan Sultan HB IX bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI,” lanjut Bonnie.
Semenjak 4 April 1946, Yogyakarta menjadi ibu kota Republik Indonesia. Dengan segera, kota ini menjadi magnet bagi kaum republikan untuk tinggal dan beraktivitas sekaligus menunjukkan sikapnya sebagai orang-orang republik. Berbagai organisasi kelaskaran pun menjadikan Yogyakarta sebagai pusat aktivitas revolusionernya. Keputusan ini juga memiliki risiko bagi Yogyakarta, antara lain, serangan Belanda pada 19 Desember 1948 di aksi militer keduanya.