Pada Selasa, 24 Januari 2023, Megawati Institute kembali menggelar kelas kesebelas Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa (SPPB), angkatan X. Pada kesempatan ini, wacana yang dibahas adalah “Politik Luar Negeri” yang diampu oleh Marbawi A Katon, Kepala Departemen Politik Megawati Institute.
Marbawi menjelaskan bahwa sebenarnya latar yang mendorong bangsa kita untuk melakukan gerakan kemerdekaan adalah praktik kolonialisme dan imperialisme yang menimpa kita. Dahulu, Portugis dan Spanyol membagi dunia menjadi dua. Ini tertulis dalam perjanjian internasional keduanya di kota Tordesillas yang disponsori oleh Vatikan. Sejak saat itulah, kita mulai mengenal konsep global dari konsep sebelumnya yang hanya bersifat regional.
Cara berpikir Ahmad Soebardjo, Ali Sastroamidjojo, dan bahkan Adam Malik dalam politik luar negeri adalah bagaimana untuk mengakhiri realitas kolonialisme, imperialisme yang di awal abad 20 yang saat itu tentu sangat menyiksa bangsa Indonesia. Fenomena ini juga yang menumbuhkan spirit perlawanan.
“Lalu,” lanjut Marbawi, “dalam konteks politik luar negeri yang saat itu didominasi oleh dua kekuatan besar yang saling bersaing, kapitalis dan komunis, Indonesia mengambil jalan tengah untuk mengambil momentum apa yang bisa digunakan dari keduanya sebagai usaha untuk mempercepat proses kemerdekaan Indonesia.”
Adam Malik adalah salah satu orang yang memiliki keluwesan atau ‘terbuka bebas’ untuk bisa berkomunikasi dengan keduanya, termasuk Blok Barat dan Blok Timur. Karena memang Indonesia saat itu sebagai negara yang sedang meniti proses kemerdekaan—selain mesti bisa memanfaatkan momentum, perlu juga mengonsolidasikan kedaulatan bangsa Indonesia.
Menurut Marbawi, ketika tahun 60-an mulai, arah politik luar negeri kita memang agak cenderung ke arah kiri. Tapi, bukan berarti itu menjadi kiri. “Maksudnya bukan demikian, tetapi situasi politik luar negeri saat itu memaksa kita untuk memanfaatkan kekuatan dari Blok Kiri atau Blok Timur. Karena Blok Barat saat itu tidak mengendurkan kekuasaannya untuk menguasai wilayah jajahannya yang kemudian disebut Nekolim. Ini dimaksud untuk melakukan perimbangan.”
Hal itu terjadi karena pertarungan perang dingin pasca-perang Korea tahun 50, itu sangat keras untuk memperebutkan wilayah pengaruh antara Amerika dan Uni Soviet. Uni Soviet sebagai kekuatan anti-kolonialisme-imperialisme di dalam frasa mereka.
“Sementara, Amerika sebagai penguasa di Barat pasca-Belanda dan Inggris, ingin melakukan hal yang sama seperti Belanda dan Inggris di masa lalu dengan menggunakan cara-cara baru. Cara-cara baru itu adalah free trade, HAM, demokrasi, dan industri militer,” jelasnya.