Ekonom: Indonesia Tak akan Pernah Jadi Industri Besar Bila Terus Ekspor Batu Bara

Kapal tongkang pengangkut batu bara lepas jangkar di Perairan Bojonegara, Serang, Banten, Kamis (21/10/2021). Ekspor batu bara menjadi penyumbang terbesar dengan kontribusi mencapai 70,33 persen dan kenaikan hingga 168,89 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta – Economic Researcher Firdha Anisa Najiya mendukung kebijakan pemerintah yang melarang kegiatan ekspor batu bara pada 1-31 Januari 2022. Sebab, Indonesia dinilai tidak akan pernah bisa jadi negara industri bila bahan baku mentahnya terus dikirim ke luar negeri.

“Indonesia tidak akan pernah jadi industri bila bahan baku mentahnya seperti batu bara terus diekspor,” kecam Firdha dalam sesi webinar bersama Megawati Institute, Minggu (9/1/2022).
Firdha lantas menyoroti Direktorat Jenderal Mineral dan Batu bara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2020, dimana Indonesia punya sumber daya batu bara sebesar 143,7 miliar ton.

Dengan besaran cadangan mencapai 38,8 miliar ton, asumsi produksi 600 juta ton per tahun, dan kecukupan cadangan selama 65 tahun, jika tidak ada penambahan cadangan batu bara.

“Indonesia dikaruniai sumber daya alam batu bara melimpah, yang bisa memenuhi kecukupan cadangan sampai 64 tahun. Tapi apakah itu bisa mengantarkan Indonesia ke kemakmuran optimal?” sebutnya.

Cadangan Devisa

Kapal tongkang pengangkut batu bara lepas jangkar di Perairan Bojonegara, Serang, Banten, Kamis (21/10/2021). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor produk pertambangan dan lainnya pada September 2021 mencapai USD 3,77 miliar. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Argumen itu dikeluarkannya lantaran pemanfaatan batu bara untuk kebutuhan domestik masih sangat minim. Dari total produksi 550 juta ton di 2020, sekitar 75 persen atau 395 juta ton diekspor ke luar negeri. Sementara pemakaian untuk kebutuhan dalam negeri hanya dipasok 155 juta ton, atau sekitar 28 persen.

Mayoritas pemanfaatan dalam negeri dipakai untuk pembangkit listrik sebesar 109 juta ton. Sedangkan 46 juta ton diantaranya dialokasikan untuk kebutuhan industri, dan hilirisasi industri hanya 0,4 juta ton atau kurang dari 1 persen.

Menurut dia, ekspor batu bara secara langsung memang memberikan cadangan devisa melimpah bagi pemerintah. Tapi di sisi lain, Indonesia juga harus berhadapan dengan potensi kerusakan alam.

“Padahal, dengan adanya hilirisasi, ini seharusnya bisa memberikan gebrakan lebih dibanding melakukan eksploitasi kemudian diekspor. Kita bisa menghasilkan DME, karbon aktif, gas alam sintetis, bahan bakar sintetis, hingga amonia, urea dan peledak,” tuturnya.

-Maulandy Rizky Bayu Kencana-