Pada Selasa, 27 Desember 2022, Megawati Institute kembali menggelar Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa (SPPB), angkatan X, untuk pertemuan kelas kedelapan. Hadir sebagai pembicara Sigit Pamungkas, dengan tema “Maklumat X dan Pemilu 1955”.
Sebagai pembuka, Sigit menjelaskan bahwa pemilu 1955 adalah pemilu yang bersifat nasional di Indonesia sebelum terdapat pemilu yang bersifat lokal seperti di Minahasa dan Yogyakarta (1955). Dengan catatan: Minahasa memilih secara langsung 25 anggota DPRD dan Yogyakarta memilih secara tidak langsung anggota DPRD. Pemilih memilih 7.268 elektoral yang bertemu lima pekan kemudian untuk memilih 40 anggota DPRD.
Jauh sebelumnya, menurut catatan Sigit, pemilu memilih anggota Volksraad di mana sebagian anggotanya dipilih secara tidak langsung dan sebagian yang lainnya diangkat oleh Gubernur Jenderal. Anggota Volksraad terdiri dari orang Eropa, Indo-Arab, Indo-Cina, dan Pribumi. Jumlah anggota Volksraad dari waktu ke waktu terus mengalami perkembangan. Sampai pada tahun 1928, anggota Volksraad mencapai 60 orang (30 orang pribumi, 25 orang Belanda, 5 orang dari kelompok lainnya).
Sigit menambahkan banyak kalangan menyebut pemilu 1955 sebagai pemilu yang demokratis bahkan mencapai tingkat ideal. Idealitas itu dibangun di atas kebebasan dan pluralitas, kontestan pemilu, netralitas birokrasi dan militer. “Setidaknya dalam konsep, tidak terjadi kerusuhan atau bentrok massa, diwakilinya semua partai dalam badan penyelenggara pemilu dan antusiasme pemilih,” katanya.
Pemilu ini dipandang sebagai prestasi gemilang, afirmasi kebangsaan dan jawaban nyata kepada kaum skeptis di dalam dan luar negeri yang mengklaim bangsa Indonesia tidak sanggup berdemokrasi.
“Klaim ideal tersebut,” kata Sigit, “sesungguhnya tidak sepenuhnya benar.” Di beberapa tempat terjadi intimidasi di seluruh penjuru Indonesia pada tahap akhir kampanye dan pada hari pemungutan suara. Ada dua tempat yang menonjol di dalam hal ini seperti pemilih ditekan untuk memilih Masyumi, terutama di Aceh dan Jawa Barat.
Di Jawa Timur dan Jawa Tengah, pemilih diintimidasi oleh lurah-lurah PNI dan orang-orang komunis penjaga keamanan desa. Bentuk-bentuk intimidasi, di antaranya, ancaman hukuman penjara dan denda yang besar kalau tidak memilih PNI.
“Pengumpulan tanda tangan dan cap ibu jari keanggotaan organisasi-organisasi fron komunis oleh pemuda-pemuda komunis yang bergerak dari rumah ke rumah dengan bersenjata pisau dan pentungan, serta ancaman menunda pasokan garam dan barang-barang kebutuhan lainnya yang biasa dibagikan. Panitia penyelenggara pemungutan suara mengintip di bilik pemberian suara dan lainnya,” jelasnya.
Sigit juga berbicara tentang sejarah Indonesia yang menampung banyak partai politik, antara lain, melalui Maklumat X, sejarahnya, dan dinamika wacana yang berkembang pada masa itu.