Didik menyatakan bahwa buku ini merupakan tesis yang disempurnakan sebagai syarat memperoleh gelar magister di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Meski begitu, demi kepentingan penerbitan, ada proses pengeditan yang tidak begitu signifikan. Penulisan tema ini pun disebabkan terbatasnya wawasan sejarah komprehensif tenang Piagam Jakarta.
“Awal dari lahirnya buku ini sangat berkaitan erat dengan Megawati Institute. Waktu itu, saya siswa SPPB IV dan diajar almarhum Giat Wahyudi. Ternyata ia adalah senior saya di organisasi dan dari situ saya dekat dengannya, bercerita tentang kegelisahan saya. Responsnya menarik dan saya dipinjami buku karya AB Kusuma yang banyak saya kutip dalam buku ini,” katanya.
Sementara itu, Arjuna menyoroti substansi dari Piagam Jakarta yang perlu menjadi perhatian kita bersama. Menurutnya, kalau kita lihat secara historis, Piagam Jakarta merupakan bagian dari proses Pancasila. Sebab, semangat Piagam Jakarta menjadi preambul dari dasar negara kita.
“Kalau kita perhatikan berbagai komentar Sukarno atas Piagam Jakarta, ia tidak pernah melihat bahwa Islam dan Pancasila memiliki pertentangan,” tegasnya.
Di sisi lain, Arya lebih fokus pada pandangan populer di kalangan masyarakat secara umum di mana kemerdekaan Indonesia diberikan oleh Jepang. Namun, pada kenyataannya, kemerdekaan Indonesia kita raih sendiri meski ada semacam keadaan di mana Indonesia butuh Jepang dan sebaliknya.
Dinamika politik Piagam Jakarta sebenarnya merupakan peristiwa sejarah biasa di mana Pancasila mengandung semangatnya. Kita bisa saksikan urusan-urusan keumatan sejak lama sudah diurus negara. Dengan demikian, umat Islam Indonesia pada dasarnya sudah menerapkan syariat Islam tanpa formalitas.