Demokrasi di Indonesia Lebih Baik

Situasi politik setelah kudeta militer pada 1 Februari 2021 di Myanmar semakin panas. Data terbaru Assistance Association for Political Prisoners mencatat sampai saat ini sebanyak 618 orang terbunuh, 2931 dipenjara, dan 520 masuk daftar pencarian. Tentunya isu politik Myanmar mengundang perhatian dunia, terutama ASEAN.Karena itu, Megawati Institute mengadakan diskusi bertajuk “Demokrasi di Indonesia dan Myanmar” via Zoom pada Kamis, 25 Maret 2021, bersama Insan Praditya Anugrah dan Reno Koconegoro.
Insan selaku dosen ilmu politik di Universitas Terbuka fokus menyoroti peran politik militer di Indonesia dan Myanmar. Mengutip Huntington, militer menjadi institusi birokratis dengan daya konsolidasi dan efektivitas kerja tinggi dari segi profesionalitasnya. Militer bersifat eksklusif dalam mempertahankan keutuhan nasional terutama spesialisasi penggunaan kekerasan.

“Militer profesional memiliki esprit e corps yang tinggi, mendahulukan kepentingan korporasi (otonomi dan efektivitas), punya kebanggaan berlebih atas profesi, citra diri, karier para perwira, kecakapan militer, semangat, hierarki, keterpaduan dan efektivitas kerja militer,” katanya.

Hal-hal tersebut justru memicu mereka untuk melakukan intervensi politik, bahkan melakukan kudeta dan mengelola pemerintahan baik untuk sementara waktu maupun dalam waktu yang lama. Sehingga, muncullah apa yang disebut sebagai pretorianisme di mana militer melakukan intervensi ke dalam politik demokratis mengalahkan dominasi sipil.

Sementara itu, Reno selaku peneliti Sigma Phi fokus menjelaskan sejarah militer di Indonesia dan perkembangan demokrasi kita sampai saat ini. Menurutnya, apa yang terjadi di Myanmar merupakan lonceng peringatan bagi kehidupan politik dunia. Apalagi, di tengah situasi pandemi. Bagaimana Indonesia?

Demokrasi di Indonesia setelah Reformasi sangat akomodatif terhadap militer sehingga situasinya relatif cair. Bahkan, dalam sejarahnya, kelahiran tentara di Indonesia berasal dari kalangan sebelum kemerdekaan.

“Kelahiran tentara yang demikian itu telah mendorong sikap militer untuk terus membutuhkan simpati dan dukungan publik karena memang dia lahir dari bawah,” kata Reno.

Dalam situasi saat ini, Reno menekankan bahwa kita tidak perlu terlalu khawatir tapi juga jangan abai. Karena itu, kontrol publik harus tetap ada. Sebab, tantangan demokrasi sekarang adalah ketimpangan yang menyebabkan masyarakat berpikir pragmatis. (Dida Darul Ulum- MI)