“Militer profesional memiliki esprit e corps yang tinggi, mendahulukan kepentingan korporasi (otonomi dan efektivitas), punya kebanggaan berlebih atas profesi, citra diri, karier para perwira, kecakapan militer, semangat, hierarki, keterpaduan dan efektivitas kerja militer,” katanya.
Hal-hal tersebut justru memicu mereka untuk melakukan intervensi politik, bahkan melakukan kudeta dan mengelola pemerintahan baik untuk sementara waktu maupun dalam waktu yang lama. Sehingga, muncullah apa yang disebut sebagai pretorianisme di mana militer melakukan intervensi ke dalam politik demokratis mengalahkan dominasi sipil.
Sementara itu, Reno selaku peneliti Sigma Phi fokus menjelaskan sejarah militer di Indonesia dan perkembangan demokrasi kita sampai saat ini. Menurutnya, apa yang terjadi di Myanmar merupakan lonceng peringatan bagi kehidupan politik dunia. Apalagi, di tengah situasi pandemi. Bagaimana Indonesia?
Demokrasi di Indonesia setelah Reformasi sangat akomodatif terhadap militer sehingga situasinya relatif cair. Bahkan, dalam sejarahnya, kelahiran tentara di Indonesia berasal dari kalangan sebelum kemerdekaan.
“Kelahiran tentara yang demikian itu telah mendorong sikap militer untuk terus membutuhkan simpati dan dukungan publik karena memang dia lahir dari bawah,” kata Reno.
Dalam situasi saat ini, Reno menekankan bahwa kita tidak perlu terlalu khawatir tapi juga jangan abai. Karena itu, kontrol publik harus tetap ada. Sebab, tantangan demokrasi sekarang adalah ketimpangan yang menyebabkan masyarakat berpikir pragmatis. (Dida Darul Ulum- MI)