Potensi Politik SARA di Pilkada 2018

Pada Rabu, 24 Januari 2018, Megawati Institute mengadakan diskusi bertema “Ancaman Politik SARA di Pilkada 2018”. Telah hadir sebagai narasumber, Dr. Ahmad Basarah (Wakil Sekjen PDI Perjuangan), Djayadi Hanan, Ph.D (Direktur Eksekutif SMRC) dan Dr. Asep Salahudin (Staf Ahli UKP PIP).

Sebelum mengawali diskusi, Megawati Institute sedikit memberikan presentasi hasil studi mengenai suasana situasi politik di tahun 2018 yang disampaikan analisis muda, Reno Ranggi Koconegoro.

Reno mengatakan, terdapat beberapa kegiatan dalam skala besar pada 2018 seperti pelaksanaan Pilkada serentak, rangkaian pelaksanaan pilpres dan pileg, penyelenggaraan Asian Games serta tayangan Piala Dunia yang dapat memengaruhi kodisi sosial, ekonomi dan politik di tahun 2018.

Bahwa polarisasi politik Indonesia cenderung cair dengan tidak berhadap-hadapannya  pasangan calon maupun antarkoalisi partai politik (multipolar). Lalu, identitas dari masing-masing calon dalam pilkada serentak bervariasi (multivarian).

Di isu populisme, calon di pilkada serentak diprediksi tidak mengeluarkan pernyataan yang kontroversial. Salah satu sebabnya adalah ketimpangan ekonomi, mencari ideologi yang dapat menyelesaikan kegalauan akar rumput.

Meskipun terjadi kegaduhan politik, yang sering mengarah pada Presiden, sebenarnya publik tetap merasa puas terhadap kinerja Presiden. Artinya, di 2018 akan dimulai dengan optimisme yang kuat dari masyarakat, yang menandakan bahwa meskipun gaduh itu sebenarnya tidak berefek langsung pada kepuasan masyarakat untuk pemerintahan Presiden maupun kinerja.

Di sesi diskusi, Asep mengatakan bahwa Sumpah Pemuda yang dideklarasikan pada 28 Oktober 1928 punya imajinasi yang kuat, bagaimana spirit yang lapang, padahal pada waktu itu tahun, mereka tidak bicara mengenai satu agama dan satu etnik, tetapi bahasa dan bangsa tanah air Indonesia secara global. Karenanya, deklarasi itu menjadi “karpet merah” yang merupakan basis kultural, ideologi politik yang luar biasa kuatnya.

Menurut Asep, dalam 15 tahun terakhir ruang publik menjadi rebutan 2 kelompok besar. Pertama, kelompok fundamentalisme agama. Kedua, kapital konservatif, para pemodal yang menjangkarkan ekonominya dengan cara eksploitatif dan dominan. Dua kekuatan ini apabila kawin menjadi menakutkan. Bisa-bisa menjadi asal-usul ancaman demokrasi ke depan.

“UKP PIP sekarang bersifat transformatif, tidak bersifat vartikal, sharing tentang tema seperti itu karena kita sudah sangat sepakat bahwa Pancasila merupakan titik temu dan titik tuju. Bila tidak ada Pancasila, saya tidak dapat membayangkan bahwa kita dari dulu sudah bubar sebagai bangsa. Titik temu etnik, agama, budaya bisa dipersatukan dengan Pancasila,” katanya.

Sementara itu, Basarah menyampaikan bahwa kita dibekali seperangkat ideologi negara, sumber dari segala sumber negara. Ia membentuk perilaku kita menjadi sebuah pemerintah, hubungan sesama, ialah yang menjadi meja statis, sebuah dasar pijakan Indonesia. Saat ini kita tidak ditanya saat berkumpul apa agama dan warna kulitmu? Itulah seharusnya Pancasila.

“Nilai yang paling utama dan keutamaan adalah ketuhanan. Problem mendasar saat ini, bangsa Indonesia mengakui ideologi Pancasila tetapi pemahaman tentang Pancasila diserahkan pada mekanisme pasar bebas,” katanya.

Prinsip negara ketuhanan, bahwa Indonesia bukan hanya dengan satu agama tertentu, tetapi juga bukan negara sekuler. Tuhannya itu tuhannya semua agama yang dianut orang Indonesia. Karena itu, hukum agama yang masuk adalah yang bersifat universal.

“Partikular tidak bisa dimasukkan. Itulah mengapa di pilkada tidak ada UU Pilkada yang syaratnya kepala desa itu tidak harus satu keyakinan tetapi bertakwa kepada Tuhannya. Di situ, tidak disebutkan harus orang Islam, Kristen, dan lain sebagainya. Kalau hari ini pilkada mengeksploitasi agama, itu peradaban Indonesia mundur dari gerakan yang mendeklarasikan Sumpah Pemuda,” tegasnya.

Menurut Basarah, Pancasila sebagai dasar negara bersifat final, tidak boleh ditunggangi pihak tertentu untuk kampanye lain. NKRI bentuk negara yang final, jangan ditawarkan yang lain, Bhinneka Tunggal Ika sebagai sistem Indonesia, harusnya hal yang bersifat final dan tidak dijadikan komoditas politik sekalipun untuk menang pilkada.

Berbeda dari Basarah, Djayadi fokus pada politik identitas. Mengenai SARA, yang dimaksud itu identitas agama, dan suku. Semua orang di sini pasti memiliki identitas, agama, dan suku. Semua memiliki identitas yang menjadi sesuatu yang melekat di kita.

“Termasuk dalam pemilu, selalu gabungan dari faktor tadi dasarnya, pertanyaannya kapan satu identitas atau dasar menjadi dominan? Ketika identitas menjadi dasar pilihan orang berperilaku politik, muncul secara vulgar atau mungkin dianggap kurang beradab atau muncul tidak menjadi persoalan,” katanya.

Jadi, menurut Djayadi, itulah seharusnya pengelolaan politik di Indonesia. Boleh muncul dalam dosis tidak saling menimbulkan ancaman, tidak saling memecah belah bangsa. Dengan kata lain, identitas bukan terlarang.

Arif Agustin – MI