Perempuan Petani dan Perubahan Sosial Ekonomi di Sulawesi Barat

Megawati Institute kembali mengadakan diskusi serial alumni Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa (SPPB) dengan tema “Perempuan Petani, Komoditas, dan Perubahan Sosial Ekonomi di Sulawesi Barat” dan menghadirkan Kasmiati, Dosen Universitas Sulawesi Barat/Alumnus SPPB. Diskusi yang berlangsung pada Selasa, 20 Mei 2025, ini dipandu Libasut Taqwa, Alumnus SPPB.

Tata, sapaan akrab Kasmiati, memulai pemaparannya tentang latar belakang sosial ekonomi Sulawesi Barat yang baru menjadi provinsi pada tahun 2004. Daerah tersebut tercatat memiliki jumlah penduduk sebesar 1.466.741 jiwa pada tahun 2024. Provinsi Sulawesi Barat merupakan hasil pemekaran dari Provinsi Sulawesi Selatan. Hal ini, menurut Tata, penting disampaikan dalam rangka mengetahui konteks sosial politik yang nanti akan bersinggungan dengan konteks sosial ekonomi dalam pemaparan selanjutnya.

Sulawesi Barat memiliki kawasan frontier (garis depan) sebesar 64%, luas wilayah 1.678.718 ha, dan kawasan hutan 1.069.989 ha. “Sistem ekonominya masih sangat bergantung pada pertanian,” kata Tata. Namun, secara perlahan kaum laki-lakinya beralih ke pekerjaan tambang. Hal ini tentu saja membuat kaum perempuannya berinisiatif untuk bertani sendiri tanpa berpangku tangan ke mereka.

Dari sini, upaya kaum perempuan di sana untuk bertani secara mandiri menghidupkan kembali sebuah tradisi kebersamaan yang kita sebut sebagai royongan. Tradisi ini, menurut Tata, merupakan sebuah kearifan lokal yang memiliki empat nilai. Pertama, kerja bersama/ gotong royong dalam mengelolah sumber daya alam. Khususnya lahan atau kebun. Kedua, proses pertukaran tenaga dan waktu. Ketiga, basis dari tradisi ini adalah kepentingan yang sama dan hubungan ketenagaan/kekerabatan. Keempat, menavigasi bersama pengelolaan sumber daya alam, mengatasi krisis tenaga kerja, modal, dan krisis iklim.

Menghidupkan kembali tradisi royongan ini tentu memiliki efek positif bagi kehidupan masyarakat secara umum di sana. Di antaranya, inisiatif mengatasi krisis, menopang ekonomi rumah tangga, menanggung beban lebih dari perubahan komoditas atau perluasan industri ekstratif, dan mengatur sumber penghidupan.

Tata juga berbicara tentang aspek-aspek lain seperti fenomena masyarakat petani yang semakin hari, semakin berkurang karena tidak adanya perhatian dari pengambil kebijakan sampai bagaimana para ibu/perempuan di sana memikul beban ganda.