Mengelola Pendidikan Multikultural

Pada Selasa, 20 Oktober 2020, Megawati Institute mengadakan sarasehan ke-6 bertajuk “Merintis Pendidikan Multikultural di Kampung” via Zoom bersama Ai Nurhidayat, inisiator Kelas Multikultural, ditemani Dida Darul Ulum selaku tuan rumah.

Ai mendatangkan sejumlah remaja dari 11 provinsi di Indonesia berlatar belakang budaya dan agama berbeda-beda ke Desa Cintakarya, Parigi, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Mereka lalu disekolahkan di SMK Bakti Karya Parigi dalam kelas multikultural dengan beasiswa penuh selama tiga tahun, asrama dan makan gratis, serta bebas biaya tiket pergi pulang (Kompas, 18 Januari 2018).

“Sekarang, jumlah siswa yang belajar terdiri dari 28 suku dari 18 provinsi dan 21 provinsi dengan yang sudah lulus,” katanya.

Pada awal dialog, Ai menyampaikan pengalaman menempuh pendidikan strata 1 di Universitas Paramadina. Ia sadar bahwa itu bukan sebuah pencapaian sesungguhnya melainkan pencapaian sesungguhnya adalah kembali ke kampung untuk “mencium bau tanah”. Selain itu, ia mengakui dapat bekal dari pengalamannya mengikuti Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa (SPPB) pada tahun 2012.

Menurutnya, pendidikan kita selama ini gagap karena terlalu menekankan bahasa-bahasa yang tidak begitu dipahami warga dan itu menjadi sebuah masalah serius di mana pikiran semakin intelektual dan jadilah intelektualisme. Namun, ujung-ujungnya diikuti oleh eksistensi yang urusannya material dan jadilah materialisme dalam praktik yang sesungguhnya.

“Di situlah, bagi saya, dua hal yang pada saat diskusi di Megawati Institute saya masih ingat tentang Ki Hajar Dewantara. Justru itulah dua hal yang paling dihindari karena kalau dunia pendidikan sudah mengarah kepada intelektualisme dan materialisme, sebetulnya itu bukan lagi pendidikan melainkan hanya bisnis sekolah atau hanya sekadar suprastruktur yang tidak terlalu berpengaruh bagi dinamika perkembangan peradaban,” tegasnya.

Meski begitu, Ai tidak anti-intelektualisme. Ia hanya mengkritik tradisi intelektualisme yang sekadar kutip mengutip yang pada akhirnya kutipan-kutipan itu dikutip-kutip kembali sementara penderitaan di sana-sini tidak terjelaskan dan banyak anak kecil yang menunggu untuk dididik dan diberdayakan tidak tersentuh.

Ai juga menjelaskan tentang perkembangan sekolah yang didirikannya dan bercerita tentang bagaimana proses pendidikan yang berlangsung di sana. Pada masa pandemi ini, ia mengakui sempat mendapatkan kesulitan di mana separuh dari calon siswa baru dari berbagai provinsi tidak bisa datang bergabung.

Arif Agustin-MI