Membaca Soepomo

Pertemuan ketiga Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa (SPPB), angkatan kesepuluh kembali hadir dengan tema konsep negara hukum/integralistik Soepomo pada Selasa, 22 November 2022, di Megawati Institute. Airlangga Pribadi hadir sebagai narasumbernya. Posisi Soepomo dalam dinamika pergerakan nasional menuju kemerdekaan Indonesia memiliki tempat tersendiri yang patut dipelajari secara kritis.

Menurut Airlangga, Sebagai seorang sarjana hukum dan yuris yang menempuh pendidikan akademik studi hukum di Leiden University semenjak masa kolonialisme Belanda, maupun sebagai akademisi dan pejabat birokrasi dalam kolonialisme Jepang, beliau merupakan salah satu tokoh terpenting dalam mengisi gagasan tentang Indonesia dari perspektif paham konservatisme, terutama yang berbasis pada paham teori negara integralistik.

“Banyaknya sumber pengetahuan yang membentuk kemerdekaan telah mewarnai awal kemerdekaan Indonesia. Selain gagasan nasionalisme progresif yang menjadi arus utama dalam pergerakan nasional, paham kebangsaan Indonesia juga dipengaruhi oleh paham kebangsaan konservatif yang lebih berkerangka membangun harmoni sosial dan tatanan hierarkis, yang dibayangkan eksis pada masa lalu,” jelas Airlangga.

Ia menegaskan inti dari teori organisis adalah bahwa suatu tatanan politik yang ideal merupakan tatanan yang kembali pada masa lalu yang adiluhung. Suatu tatanan politik yang mana muncul adalah nilai-nilai harmoni dan keselarasan yang dikawal oleh tertib sosial. Dalam konteks ini yang muncul melalui jargon-jargon tradisi Jawa, yang mana untuk kepentingan mengidealisasikan negara organisis.

Gagasan negara integralistik di Indonesia, jelas Airlangga, sebetulnya dalam pandangan poskolonial dan teori kritis ada dalam pandangan Mahmood Mamdani. Ia, dalam karyanya berjudul Divide and Rule: Native as Political Identity, Perspectives on Politics (2012), mengutarakan bahwa sumbangan pertama kolonialisme di nusantara dari sarjana Leiden adalah Snouck Hurgronje.

“Mamdani melihat bahwa untuk menjinakkan perlawanan kolonialisme Belanda yang pada waktu itu abad 19 akhir negara-negara kolonial sedang melakukan konsolidasi dengan negeri-negeri jajahannya. Sehingga, diperlukan definisi ulang, seperti siapa saja elemen masyarakat yang masuk orang Hindia Belanda yang mana kemudian muncul kategorisasi tentang Islam politik (aktif secara politik), Islam akomodatif (tidak melakukan perlawanan terhadap kolonial Belanda), dan kelompok-kelompok kultural,” katanya.