Kuliah Umum Ekonomi Pancasila

Pada Kamis, 11 April 2018, Megawati Institute mengadakan kuliah umum bertajuk “Genealogi Pemikiran Ekonomi Pancasila” sebagai bagian dari Sekolah Pemikiran Ekonomi Pancasila (SPEP) di Jl. Proklamasi No.53, Menteng, Jakarta Pusat. Hadir sebagai pembicara, Yudi Latif, Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

Yudi mengatakan, tema Sekolah Pemikiran Ekonomi Pancasila ini sungguh-sungguh strategis karena berada di titik penting dalam isu-isu yang saat ini menghasut Pancasila. “Mungkin kita perlu sedikit me-refresh untuk apa sih kita bernegara itu”, katanya.

Masyarakat majemuk, multikultural bersatu dalam satu republik tentu memiliki visi dan misi dalam bernegara, dan visi negara kita ada di alenia kedua UUD 45. Jadi, ketika ingin merdeka di BPUPK peserta yang hadir bertanya satu sama lain, “What do we want? Kita merdeka ini inginnya apa?”

Lalu Bung Hatta, mewakili kira-kira aspirasi seluruh peserta yang hadir di BPUPK mengatakan, “Aku ingin membangun negara di mana semua orang merasa bahagia di dalamnya.” Papua bahagia, yang Aceh bahagia, yang Minang, Sunda, Jawa, Tionghoa, seluruhnya bahagia. Petani, nelayan, buruh semuanya bahagia.

Manariknya, menurut Yudi, konstitusi kita ini dan barangkali satu-satunya konstitusi di dunia di mana frame-nya, pembentuknya itu mewakili beragam-ragam identitas. Di dalam 68 anggota BPUPK itu, dari segi agama saja bukan hanya dari agama Islam, tapi juga ada orang Kristen ada orang Konghucu, dan berbagai penghayat kepercayaan. Sebab, Radjiman sendiri sebagai ketua adalah seorang penghayat kepercayaan.

Dari etnisnya di situ ada Jawa, Sunda, Batak, Minang, Manado, Maluku, dan lain-lain tapi ada 4 orang juga dari keturunan Tionghoa, 1 orang keturunan Arab dan 1 orang keturunan Eropa. Dan menarik, di sana juga bukan hanya laki-laki, ada dua orang perempuan di dalam BPUPK sebagai badan pembentuk konstitusi kita.

Jadi, menurut Yudi, konstitusi kita benar-benar dibangun di atas semua keberagaman Indonesia. Dan ketika semua keragaman itu bertemu, satu sama lain bertanya, “What do we want? Untuk apa  kita membentuk negara?” Bung Hatta mengatakan, “Aku ingin membangun negara, di mana semua orang merasa bahagia di dalamnya.”

Kalau kita ingin bahagia, tentu kita bentuk suatu visi dan misi negara yang diharapkan bisa memenuhi keberbagaian semua orang dalam negara tersebut. Berdasarkan visi yang telah kita sepakati, bahwa negara ini dibentuk adalah untuk menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

“Kalau kehidupan kita dalam berbangsa merdeka, tidak ada diskriminasi, tidak ada penindasan, tapi juga bebas mengembangkan diri, kemudian bersatu apapun keragaman kita, berdaulat artinya mampu mengambil keputusan-keputusan politik sendiri tanpa dikte-dikte dari kekuatan mana pun, adil dan makmur yang menghantarkan kita pada kebahagiaan,” kata Yudi.

Misi negara ini ada di alenia ke 4 UUD 45. Apa misi negara untuk mencapai kebahagiaan semua orang, yaitu adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darahya.  Segenap bangsa itu memiliki makna, segala jenis bangsa ini apa pun agamanya, apa pun rasnya, apa pun sukunya, apa pun jenis kelaminnya, harus dilindungi.

“Seluruh tumpah darah, artinya di mana pun setiap jengkal tanah air Indonesia harus dilindungi. Oleh karenanya mengapa harga minyak di Papua harus sama dengan tempat-tempat lain di Indonesia, itu memilki makna bahwa tidak boleh ada yang tertinggal. Kalau manusianya saja yang dilindungi, seumur-umur Jawa melulu yang dibangun, gara-gara yang kurang padat penduduknya tidak kita bangun,” jelas Yudi.

Yang selanjutnya adalah memajukan kesejahteraan umum. Jadi yang ingin sejahtera itu umum, bukan orang  per orang, bukan perusahaan tertentu, bukan ras tertentu, bukan golongan tertentu, teritorial tertentu, wilayah tertentu. Tapi, ini untuk umum. Kalau rakyat disebut dalam konstitusi, berarti kata umum dimaksud adalah kita secara keseluruhan.

Di sini sebenarnya menarik, kata kesejahteraan dimaksud bukan hanya disandangkan kepada hal yang material berupa sandang, pangan, papan, tetapi juga ada dimensi kesejaheraan spiritual. Sederhananya, percuma kalau bangsa itu kesejahtetraannya hanya sandang, pangan, dan papan, kalau hak ibadahnya dirongrong, rumah ibadahnya dirobohkan, itu juga tidak akan menimbulkan kesejahteraan.

Menurut Yudi, para pendiri bangsa karenanya menyebut kata adil dan makmur selalu ditambah imbuhan materiil dan spirituil. Dan sekarang memang benar, tidak ada jaminan negara yang GDP-nya tinggi, income per kapita tinggi dapat bahagia. Banyak juga negara yang GDP-nya tinggi, income tinggi tapi tingkat bunuh diriya juga tinggi.

“Singapura, Korea Selatan, China, Jepang tingkat bunuh dirinya tinggi. Dan sekarang kita dihadapkan pada situasi di mana manusia jumlah orang yang meninggal karena peperangan lebih kecil dari orang-orang yang bunuh diri, 800.000 per tahun. Oleh karenanya, kesejahteraan spirituil menjadi aspek yang  penting dalam bernegara selain dari kesejahteraan pada aspek materiil,” jelasnya.

Selain kuliah umum, Megawati Institute juga mengadakan bedah buku The Rise and Fall of American Growth karya Robert Gordon di hari yang sama.

Arif Agustin – MI