Diskusi Serial Alumni Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa (SPPB), Megawati Institute, kembali hadir hadir dengan membincang buku Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi (2018) dari B. Herry Priyono pada Jumat, 07 Maret 2025. Buku tersebut merupakan sebuah upaya melibati pertanyaan tentang apa itu korupsi. Dengan melacak jauh ke masa silam, suatu horizon terbentang untuk memahami lintasan perkembangan arti korupsi hingga hari ini.
Korupsi sering dilakukan dengan dalih pragmatis untuk mempercepat hasil, tetapi dampaknya adalah penghancuran tatanan sosial-politik. Fenomena ini menunjukkan bahwa pragmatisme yang tidak mempertimbangkan aspek moral dapat merusak fondasi nilai keadilan dan persatuan bangsa. Lantas, apa makna sesungguhnya dari korupsi? Apa implikasinya?
Pengertian korupsi terjahit integral dengan cita-cita tatanan dan tata kelola yang baik, tidak lekang oleh waktu, dan bukan monopoli tradisi kebudayaan atau peradaban tertentu. Korupsi berkembang menjadi konsep khas yang digulati para filsuf, teolog, pujangga, negarawan, aktivis, pembaru, dan para ilmuwan sosial. Bagaimana dahulu korupsi dipahami? Bagaimana sekarang korupsi menjadi idiom moral yang integral dalam kehidupan publik?
Pertanyaan-pertanyaan ini pula yang menjadi bahan diskusi yang disampaikan oleh Wadyo Pasaribu, Alumnus SPPB, sebagai narasumber. Menurutnya, salah satu faktor maraknya korupsi di negara kita adalah pragmatisme dan pengabaian nilai etis. Dengan mengutip beberapa filsuf, antara lain, Ayn Rand dan David Hume, Wadyo menekankan apa yang disebutnya sebagai pragmatisme egois dan pragmatisme etis.
“Pragmatisme egois berakar pada pemikiran Ayn Rand yang menekankan individualisme dan kepentingan pribadi dan mengabaikan nilai altruistik seperti kasih dan keadilan sosial. Sementara, pragmatisme etis merujuk para pemikiran David Hume yang menekankan pentingnya perasaan moral sebagai dasar tindakan etis dan pemikiran John Dewey yang menambahkan pentingnya pendekatan ilmiah dan kolektivitas dalam keputusan moral,” katanya.
Korupsi tentu saja menimbulkan ketidakadilan. Meski sering dibenarkan dengan dalih pragmatisme, ia tetap merusak institusi politik. Bahkan, lanjut Wadyo, Samuel Huntington menunjukkan bahwa korupsi melemahkan birokrasi dan stabilitas jangka panjang. Di sini, perlu aktualisasi nilai-nilai Pancasila dan mengintegrasikannya dengan refleksi etis dalam kebijakan publik. Kita perlu pendekatan yang mengintegrasikan refleksi etis, analisis ilmiah, dan nilai-nilai Pancasila untuk menciptakan masyarakat yang adil dan harmonis.