“Dari mulai saya keliling di Jawa Tengah, di daerah Kendal, saya melihat untuk di perikanannya masih kurang. Untuk nelayannya juga saya melihat kurang gereget karena mereka memang fokusnya di pertanian dan perkebunan. Dari situ, saya berpikir bagaimana caranya menyatukan dan apa yang bisa saya lakukan untuk para nelayan. Sedangkan, cuaca pun menjadi kendala besar bagi mereka,” katanya.
Cuaca menjadi kendala, menurut Despi, karena hal tersebut menyebabkan mereka menganggur karena tidak memungkinkan untuk melaut. Kapal pun kadang sewa. Sedangkan, keinginan untuk bertani tidak memungkinkan karena tidak punya lahan. Pada akhirnya, mereka coba memancing atau menjaring di tambak-tambak yang ada di sekitar pesisir pantai Jawa.
“Dari situ, saya mulai gerak ke arah Pantura, ke arah Tuban. Di sana pun sama dengan Kendal, terbagi dua. Ada pegunungan dan pesisir laut. Masalahnya juga sama, cuaca. Jika cuaca kurang bagus, mereka menganggur dan tambak-tambak di Tuban kebetulan para pemiliknya orang-orang kaya,” lanjutnya.
Selain daerah-daerah di atas, Despi memutuskan ke arah Demak yang mana permasalahannya sama. Kalaupun mereka punya kapal sendiri ataupun berkelompok, cuaca buruk tetap akan menjadi kendala dan akhirnya menganggur.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Despi mengajak anak-anak muda di sana memanfaat lahan di sekitar rumah masing-masing untuk dijadikan sebagai tambak entah itu lahan yang kecil maupun yang lumayan besar. Dengan demikian, kendala cuaca sedikit teratasi dan tidak hanya berdiam diri di rumah. Mulanya pun sekadar memanfaatkan peralatan yang sederhana seperti terpal dan semacamnya.
Selain berbicara pengalamannya, Despi juga mengajak masyarakat, khususnya kawan-kawan muda, untuk berpartisipasi dalam budi daya perikanan atau paling tidak, memberdayakan masyarakat sekitar. Semuanya butuh keseriusan dan ketekunan.