Kebijakan Ekonomi Perlu Beradaptasi dengan Dunia yang Berubah

Bincang akhir pekan Megawati Institute hadir kembali pada Minggu, 20 Februari 2022, dengan tema “Adaptasi Kebijakan Ekonomi di Tengah Dunia yang Berubah” dan fokus pembahasan tentang buku yang ditulis Diane Coyle, Cogs and Monsters: What Economics Is, and What It Should Be (2021). Buku ini merupakan Financial Times Best Economics Book of the Year 2021.

Dalam kesempatan tersebut, hadir pemantik diskusi Arif Amin (Mahasiswa Pascasarjana FEM IPB), Dr. Telisa Aulia Falianty (Ekonom FEB UI), Prof. Dr. Didin S. Damanhuri (Guru Besar Ekonomi Politik FEM IPB), dan Dr. Arif Budimanta (Direktur Eksekutif Megawati Institute).

Sebagai wacana pembuka, Amin memaparkan tesis-tesis pokok dari apa yang ditulis Coyle. Di antaranya, kritik Coyle terhadap ekonomi itu sendiri di mana para ekonom memosisikan manusia sebagai makhluk yang egois (selfish), individu yang serba-perhitungan (calculating individuals), dan ekonomi seolah-olah jauh dari perihal yang benar-benar berharga (truely valuable things).

Menurut Amin, Coyle berangkat dari dua tesis pokok tentang ekonomi saat ini. Pertama, cogs (roda gigi) dan di sini yang dimaksud adalah individu yang mementingkan dirinya seperti yang diasumsikan para ekonom dan ia berinteraksi sebagai agen yang independen dan penuh perhitungan. Kedua, monsters yang menyimbolkan fenomena ekonomi digital yang tidak terikat, dipengaruhi secara sosial, belum dipetakan dan belum diketahui.

Sejalan dengan Amin, Telisa menyampaikan bahwa apa yang ditulis Coyle merupakan kritik dari ekonom untuk ekonom. Karena itu, para ekonom sebaiknya mulai sadar akan pentingnya kajian multidisipliner sehingga kebijakan yang diambil tidak berada di luar realitas (outsiders).

“Sering kali krisis di berbagai negara, IMF menyelesaikan dengan resep-resep yang general. Itu juga yang menjadi keresahan Diane Coyle padahal tidak semua negara memiliki permasalahan sama, struktur sama. Jadi, makro itu di dalamnya ada fondasi struktur. Jarang sekali ekonom yang melihat bentuk, deep dive kepada fondasi struktur tersebut dan kekhususan atau keunikan setiap negara,” katanya.

Sementara itu, Didin menyoroti apa yang terjadi di masyarakat dunia secara umum. Menurutnya, Antony Giddens itu membayangkan bahwa post-material society itu seperti sektor informal di Indonesia. Guyub, berkumpul, dan mereka tidak terlalu terjebak pada kehidupan materialisme dan sebagainya. Arif menyinggung East Asian Miracle untuk memperkaya wacana.

“Kita bisa belajar misalnya dari East Asian Miracle seperti Jepang, Cina, dan Korea Selatan. Saya rasa mereka belajar juga teori-teori ekonomi dengan berbagai macam paradigma baik yang klasik, neoklasik, dan seterusnya. Tapi, mereka mencoba untuk mencari titik temu sesuai dengan problem kehidupan sosial dan tentu saja cita-cita kebangsaan yang mereka miliki,” katanya.

Dida Darul Ulum-MI