Sindoro-Sumbing merupakan dua gunung yang berdekatan di daerah Jawa Tengah. Bila dilihat dari jauh, keduanya merupakan inspirasi gambar yang dibikin Tino Sidin pada dekade 1980-an di TVRI. Gambar tersebut begitu populer dan masuk ke alam bawah sadar anak-anak sekolah dasar (SD), terutama angkatan 90-an. Hal ini pun sempat disinggung Farhan.
Farhan menegaskan bahwa aktivitasnya selama ini berangkat dari pandangan tentang dua gunung yang ada di Wonosobo, yakni Sindoro-Sumbing, sebagai pusaka atau sebagai dua gunung yang dianggap masyarakat sekitarnya sebagai lingga yoni—sebuah filosofi hidup tentang aspek-aspek maskulin dan feminin di alam semesta.
“Kami juga punya preferensi cerita rakyat, sebagian orang menyebut sebagai Sindara-Sindari atau sepasang gunung laki-laki dan perempuan,” katanya.
Karena itu, pemaknaan filosofis yang diyakini masyarakat terhadap dua gunung tersebut memiliki arti tentang pentingnya keseimbangan alam semesta. Gunung bukan sekadar tumpukan tanah melainkan punya fungsi kestabilan bumi dalam rotasinya.
“Tentu di gunung, juga ada hutan, ada kehidupan hewan, dan seterusnya. Ada jutaan jenis tanaman yang punya fungsi semua untuk kehidupan manusia yang ada di sekitarnya. Nah, kita mengambil spirit lingga yoni, spirit pasangan dua gunung kembar, spirit dari Sindoro-Sumbing atau Sindara-Sindari sebagai spirit untuk bergerak menjaga kelestarian [dan] keseimbangan alam,” tegasnya.
Karena itu, semodern apa pun kita, peradaban ini akan berkembang terus tetapi tidak bisa lepas dari pijakan masa lalu kita.
Selain berbicara tentang hal di atas, Farhan juga menyinggung aktivitas bersama Persaudaraan Shin dalam mengumpulkan tanaman obat yang cuma-cuma untuk masyarakat. Meski begitu, ia tidak menafikan adanya tarik menarik antara kepentingan dunia bisnis, terutama farmasi, yang mencoba untuk terlibat.