Megawati Institute kembali menggelar diskusi serial alumni Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa (SPPB) bertema “Garis Kemiskinan dalam Pemikiran Pendiri Bangsa” via Zoom pada Senin, 18 Agustus 2025 dengan menghadirkan Muhammad Nalar Al Khair, Peneliti Sigmaphi/Alumnus SPPB, Angkatan VIII, yang dipandu oleh Insan Praditya, Dosen Ilmu Politik UT/Alumnus SPPB, Angkatan IV.
Titik perbincangan dalam forum ini fokus membahas standar kemiskinan dan evolusi sejarah kemerdekaan Indonesia dengan membandingkan ambang batas era kolonial dengan kondisi saat ini dan menganalisis bagaimana klasifikasi negara sebagai negara berpenghasilan menengah atas kontras dengan tingkat kemiskinan yang sebenarnya.
Temuan penelitian disajikan pada pengukuran garis kemiskinan dan standar hidup, termasuk diskusi tentang kebijakan pemerintah, pembangunan ekonomi, dan dampak kemajuan teknologi pada pekerjaan. Para peserta mengeksplorasi berbagai tantangan yang dihadapi ekonomi dan masyarakat Indonesia, termasuk kebutuhan untuk pembuatan kebijakan yang lebih terarah, persiapan pendidikan yang lebih baik untuk tenaga kerja, dan memastikan akses ke kebutuhan dasar bagi semua warga negara.
Nalar juga membahas garis kemiskinan dan persepsinya di kalangan para pendiri bangsa, khususnya Bung Karno dan Bung Hatta. Ia memaparkan temuan penelitian tentang garis kemiskinan, menyoroti tingginya jumlah orang miskin di Indonesia dibandingkan dengan negara lain. Bung Karno, di Fikiran Ra’jat pada 18 November 1932, secara gamblang mempertanyakan logika pemerintah kolonial Belanda yang mengklaim rakyat Indonesia bisa hidup hanya dengan f 0,08 per hari.
Bung Hatta, pada saat yang sama, juga menyatakan tujuan negara bukan sekadar membuat rakyat tidak mati, melainkan menjamin kehidupan yang selamat, bermartabat, dan sejahtera. Sehingga, sekadar hidup bukanlah ukuran. Apa yang disampaikan para pendiri bangsa sangat relevan di mana Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini mengumumkan garis kemiskinan Indonesia per Maret 2025 sebesar Rp609 ribu per kapita per bulan, atau setara Rp20.305 per hari. Apakah ini ukuran ideal atau sekadar lelucon?
Nalar menekankan pentingnya pergeseran makna kemiskinan dari kebutuhan dasar menjadi hak dasar setiap warga negara dalam merumuskan garis kemiskinan di Indonesia. Ini menjadi poin inti dalam diskusi tersebut.