Di awal penjelasannya Noer mengatakan bahwa ia ingin menyampaikan sebuah perjalanan panjang dari bangsa ini yang berkenaan dengan pengalokasian seperti tanah air ini yang dialokasikan untuk apa, dan siapa yang diberikan akses atau hak lebih untuk bisa dinikmati. Menurutnya, jika kita melihat dalam perspektif itu, maka mau tidak mau kita berhadapan dengan sistem politik agraria kolonial pada masa lalu di Indonesia.
“Sebab, pada awalnya dalam politik agraria yang diterapkan oleh kolonial, mereka memiliki rancangan ke depan seperti untuk apa dan siapa negara hasil jajahan yang mereka rebut. Lalu bagaimana cara meredistribusi hasil jajahannya tersebut,” sambungnya.
Terlepas dari itu, menurut Noer, paling tidak, yang menjadi kerangka program reforma agraria versi kordinator perekonomian adalah target reforma agraria dan perhutanan sosial yang meliputi target tanah objek reforma agraria yang mencapai 9 ha yang terdiri dari legalisasi aset seluas 4,5 juta ha dan redistribusi aset 4,5 juta ha.
“Untuk legislasi ditargetkan 3,9 juta ha sertifikasi tanah melalui program kebijakan PTSL dan 0,6 juta ha legalisasi lahan-lahan transmigrasi,” katanya.
Selanjutnya, redistribusi ditargetkan 4,1 juta ha lahan dari pelepasan kawasan hutan, serta 0,4 juta ha dari lahan terlantar dan ex-HGU. Sedangkan, sosial mencapai 12,7 juta ha, yang diperoleh dari kawasan hutan termasuk kawasan hutan yang dikelola oleh perhutani dan inhutani.
Menurut Noer, yang menjadi dasar pokok dari reforma agraria di sini berkaitan erat dengan kebijakan, legislasi, dan program pemerintah yang diniatkan dan dijalankan sebagai suatu operasi yang terkoordinasi dan dan juga sistematis.
“Hal ini dimaksudkan agar redistribusi kepemilikan tanah, mengakui klaim-klaim, dan hak-hak atas tanah, juga akses pemanfaatan tanah, memberikan akses pemanfaatan tanah, sumber daya alam/wilayah, dan penciptaan produktif baru secara kolektif di desa dan kawasan perdesaan dapat berjalan dengan baik,” jelasnya.
Hal ini pulalah yang menjadi tujuan meningkatkan status, kekuasaan dan pendapatan absolut maupun relatif dari masyarakat miskin, sehingga menjadi perubahan kondisi masyarakat miskin atas penguasaan tanah/lahan sebelum dan setelah adanya kebijakan, legislasi dan program tersebut.
Sejauh ini, menurut Noer, hal yang sudah dilaksanakan oleh pemerintah untuk mengatasi ketimpangan di antaranya: (1) meningkatkan ketepatan sasaran subsidi BBM, listrik dan rasta; (2) meningkatkan dana desa; (3) menggulirkan paket kebijakan ekonomi; (4) merevitalisasi pendidikan vokasi; (5) membangun insfrastruktur; (6) mereformasi aturan perpajakan; (7) reforma agraria dan perhutanan sosial.
Arif Agustin – MI