Bung Karno Menantang Pikiran Para Ulama tentang Negara

Megawati Institute mengadakan Seri Diskusi Ramadan dengan mengusung tema besar “Bung Karno dan Islam”. Diskusi pertamanya berlangsung pada pada Kamis, 24 Mei 2018, di Jalan Proklamasi No. 53, Menteng, Jakarta Pusat. Telah hadir sebagai pemateri Siti Ruhaini Dzuhayatin, Dosen UIN Sunan Kalijaga dan Hasibullah Sastrawi, alumnus Al-Azhar, Kairo.

Keduanya fokus berbicara tentang negara versus khilafah dalam pandangan Bung Karno. Ruhaini mengungkapkan, bahwa sebenarnya ia juga adalah pengagum berat. Ruhaini mengisahkan sedikit kisah dirinya semasa tinggal di pesantren, bahwa salah satu yang menjadi ciri khas pesantren adalah gambar-gambar yang berlukiskan tulisan-tulisan Arab atau yang sering kita sebut dengan tulisan kaligrafi.

Namun, dirinya berbeda, Ruhaini justru pada saat itu memajang dua foto yang menjadi idolanya sejak kecil, Bung Karno dan Kartini. Menurut pandangannya, Bung Karno berkharisma tinggi, memiliki wawasan kebangsaan dan keislaman yang cukup maju, melebihi masanya kala itu. “Jika kali ini kita membicarakan khilafah sebagai ide dan konsep bangsa, maka sebenarnya peradaban kita akan jauh tertinggal beberapa puluh tahun silam,” katanya.

Di sinilah kita dapat melihat kemampuan Bung Karno “menantang” pikiran-pikiran ulama untuk agama yang mampu mentransformasikan etnosentrisme menjadi negara-bangsa (nation-state).

“Jadi, sebenarnya Bung Karno sangat berjasa bukan hanya karena merumuskan Pancasila yang menjadi perekat bangsa tapi juga mampu menata pikiran dalam arti positif seperti layaknya Kiai Dahlan memandang Islam yang mampu menjawab tantangan zaman,” jelas Ruhaini.

Karena itu, membandingkan khilafah dengan pikiran Bung Karno sangat sintesis. Proses pertukaran membentuk satu identitas Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan demokrasi yang khas. Dan kekhasan tersebut tidak terjebak oleh sekularisme yang antiagama seperti Turki.

Sementara itu, dalam pandangan Hasibullah, Bung Karno merupakan sosok Islam Nusantara berkemajuan. Ada beberapa poin penting yang menjadi catatan Hasibullah tentang pelajaran yang dapat kita ambil dari Bung Karno. Di antaranya, Islam progresif, penalaran modernis, dari halal-haram ke mubah-jaiz, NKRI, Syariat Islam, titik tengkar yang terlampaui, belajar mengelola perbedaan ideologis, dan argumen negara yang terbarukan.

Adapun penjelasan singkat mengenai Islam progresif dalam pandangan Hasibullah, jika dibuat semacam kategori, maka Islam progresif ialah bukan Islam yang tradisional, namun sebuah konsep dan visi Islam yang melampaui zaman.

Hasibullah mengungkapkan, sebenarnya kekaguman dirinya pada sosok Bung Karno sangat luar biasa. “Seandainya bukan Bung Karno sebagai salah satu pendiri Indonesia, mungkin Madura sudah menjadi negara sendiri, Jawa menjadi negara sendiri, Aceh menjadi negara sendiri, Kalimantan menjadi negara sendiri, Papua menjadi negara sendiri dan tidak ada alasan untuk menjadikan itu semua sebagai negara kesatuan,” katanya.

Dalam pengamatannya, kita semakin paham dan terbukti ijtihad politik para pendidik bangsa ini. Sebagai perbandingan sederhana di Timur Tengah, kita tahu persoalan yang kerap terjadi di sana adalah mengenai kekuasaan. Baik itu dalam pergantian presiden ataupun yang lainnya selalu terjadi konflik yang sangat menegangkan karena belum ada sistem untuk mengatur kapan pemimpin itu harus berhenti dan digantikan dengan yang lain.

“Dibandingkan dengan Indonesia, sepanas-panasnya pemilu yang terjadi di sini, kita masih bisa bersyukur tidak sampai ada darah yang menetes, apalagi perang saudara. Ini merupakan prestasi yang harus kita pertahankan sebagai negara demokrasi yang berdaulat dengan beragam etnis di dalamnya,” katanya.

Kesimpulan sederhana yang Hasibullah sampaikan, dalam konteks ibadah, umat Islam Indonesia hendaknya berkiblat ke Arab Saudi. Namun, dalam konteks demokrasi, sejatinya negara Timur Tengah berkiblat pada Indonesia.

Arif Agustin – MI