Hamid membuka diskusi dengan mencoba membuat tafsir tentang apa dan bagaimana Sukarno melihat Islam, serta seperti apa dia memanfaatkan Islam itu sendiri. Menurutnya, kita harus bisa membedakan Sukarno sebagai seorang pemikir juga Sukarno sebagai sebagai seorang politisi.
“Sukarno menjadi seorang Politisi jelas ketika kemerdekaan Indonesia, dan di fase sebelum kemerdekaan itu sendiri, Sukarno merupakan seorang pemikir yang ulung,” katanya.
Dalam pandangan Hamid, dalam lanskap budaya atau sosiologi, juga antropologi, fakta membuktikan bahwa Indonesia ini merupakan bangsa yang mayoritas menganut kepercayaan pada Islam, tentu dengan berbagai macam karakteristik di dalamnya. Di sana, Sukarno mulai melakukan pencarian melalui gerakan-gerakan organisasi yang ada dalam Islam Indonesia, seperti NU, Muhammadiyah, Persis dan sebagainya.
“Sukarno mencoba mencari inti dari itu semua. Dia terus belajar dan mendalami Islam, terutama ketika dia berada di Endeh. Dalam pengembaraan itulah, tumbuh buah dari kontemplasi pengasingannya yang menegaskan bahwa seorang muslim yang baik adalah muslim yang mampu menjawab tantangan zaman,” kata Hamid.
Tantangan zaman yang dimaksud di sini adalah pandangan-pandangan muslim yang harus terbuka terhadap perkembangan dunia ilmu pengetahuan juga teknologi. Sebab, keduanya akan mendominasi peradaban dunia ke depan. Bukan lagi menanggalkan kepercayaan pada azimat-azimat, takhayul, dan lain sebagainya.
Dari corak pemikirannya ini, menurut Hamid, agaknya kerangka berpikir Bung Karno terhadap Islam merupakan penyerbukan dalam konteks bangsa, konteks plural etnis, juga plural agama itu sendiri. Ia mencoba realistis menempatkan Islam, agar Islam itu sendiri menjadi sebuah kepercayaan yang berorientasi pada kemajuan yang progresif.
Sejalan dengan itu, Bonnie mencoba memformulasikan pikiran-pikiran Sukarno yang luar biasa dalam pandangan dan wawasan keislamannya. Ia menilai, seharusnya kita mengapresiasi Sukarno. Bagaimana tidak, Sukarno mengenal Islam melalui pergulatan yang mendalam terhadap penjelajahan wawasan keilmuan selama perjalanan hidupnya, hingga akhirnya ia memutuskan untuk mendalami Islam.
“Dari kultur sosial saja, Sukarno dilahirkan dari kedua orang tua dengan etnis dan budaya yang berbeda,” kata Bonnie.
Ibundanya Ayu Nyoman Rai merupakan wanita dari Bali yang beragama Hindu, sementara ayahnya adalah Raden Soekemi Sosrodiharjo atau sering kita kenal dengan Sokemi, merupakan seorang yang beragama Islam abangan. Sementara Sukarno sendiri menemukan Islam bukan dari kedua orang tuanya namun lebih dari pencarian selama perjalanan hidupnya.
Bonnie menjelaskan, jika kita hendak memperdalam wawasan keislaman Sukarno, kita harus memahami konteks dari aspek historis juga aspek sosiologisnya. Bagaimana kondisi masyarakat, juga bagaimana peristiwa sejarah Islam yang terjadi di Indonesia pada saat itu.
“Hal-hal semacam ini, seperti runtuhnya Turki Utsmani, pergaulannya dengan berbagai macam tokoh nasional maupun internasional, korespondensi yang sering ia lakukukan, lalu juga buku-buku yang dia baca sangat memengaruhi cara berpikir dan cara Sukarno bertindak. Di kehidupan dalam kultur yang abangan tadi, sedikit banyak menyumbangkan pembentukan pemikiran Bung Karno yang sinkretis dan eklektis,” kata Bonnie.
Bagi Sukarno sendiri, ada beberapa hal yang menjadi penghalang kemajuan Islam, di antaranya adalah takhayul, taklid, jumud, dan yang terakhir adalah minder. Lalu juga ada tiga kerangka pemikiran Sukarno dalam Islam yang dijelaskan Bonnie. Di antaranya, Islam yang sebenarnya menekankan kesamaan. Kemudian, Islam menegaskan rasionalisme dalam berpikir, dan Islam merupakan jawaban dari tantangan kemajuan zaman. Islam is progress.
Arif Agustin – MI